TERAKHIR UNTUK PERTAMA

Obituari untuk sang penyuka jazz, peniup harmonika, dan ahli bahasa.


Sumber foto: MediaIndonesia.com

Menjadi jurnalis tentu impian saya, mungkin sedari kelas enam. Namun, baru terlihat jelas keinginan itu ketika kelas dua tsanawiyah, setara SMP, ketika guru bahasa Inggris saya menginstruksikan menulis apa yang menjadi keinginan masa mendatang.
Keinginan itu kembali tertulis pada sebuah biodata dalam karya tulis semasa kelas 10, cita-cita saya ingin menjadi jurnalis. Tidak tahu mengapa, opini itu semakin menebal dikepala saya. Mungkin karena saya berpikir, menjadi jurnalis, bisa dekat dengan dunia kesenian, kesusastraan, dan berbagai keindahan kebudayaan manusia di dunia ini. Meski, semasa kecil saya tak tertarik menyaksikan tayangan berita, lebih tertarik dengan kartun-kartun kepunyaan Lativi kids – kini Tv One.
Busur kehidupan semakin mendekatkan saya pada dunia kewartawanan. Kuliah, yang sebelumnya saya pikir tidak jauh-jauh dari ilmu sosial, seperti sosiologi, justru menancapkan pada kotak jurnalisme. Melalui beasiswa yang diberikan pihak kampus, saya merasa bersyukur bisa menikmati ‘sibuknya’ seorang muda berjuluk mahasiswa. Bahasa Indonesia jurnalistik, mengenalkan saya pada bahasa demokratis ala jurnalisme, bagaimana rasanya mendapat nilai 55, hingga kemudian merasakan begitu nikmatnya nilai 85 pada ujian jurnalisme warga.
Saya tentu merasa bahagia, pernah mendapat pengajaran dari seorang jurnalis senior, yang boleh dikatakan ‘pelit’ dan hemat nilai, dia begitu cermat melihat kekurang tepatan mahasiswanya, namun, saya angkat topi padanya. Sayang, dia harus angkat kaki, lantaran peraturan baru kampus, yang mengharuskan dosen harus berstrata dua. Saya anggap ini tidak fair. Dia seorang pembelajar, praktisi, dan ahli, hidupnya ia habiskan untuk dunia kepenulisan dan kewartawanan, jadi, seorang dia saja sudah cukup bagi saya untuk melahirkan jurnalis baru dari sebuah kampus. Bukan seorang dosen strata dua ‘abal-abal.’
Kini, busur semakin menusuk pada target kotak jurnalisme. Meski, saya anggap kedalaman masih amat jauh. Saya masih berada pada lapisan dasar target. Tangga kehidupan mengarahkan saya menapaki dari duduk manis di kelas, menuju lari berkeringat di lapangan. Memasuki semester yang lebih matang, saya pun mulai magang, pada salah satu harian umum nasional, Media Indonesia. Bersama seorang rekan yang sangat baik pada saya, berjuang bersama sedari semester seumur jagung. Melalui magang, saya berperan sebagai jurnalis yang mencari informasi untuk diolah menjadi santapan publik. Di Media Indonesia, saya banyak belajar. Menambah yang selama ini saya dapat di dalam kelas berpendingin ruangan yang bocor.
Suatu ketika, saya ditugaskan untuk mewawancarai seorang narasumber, yang diperuntukkan rubrik Inspirasi. Dengan kriteria narasumber berusia 70+, dan menginspirasi sekitarnya. Mengapa 70+? Karena angka harapan hidup manusia Indonesia adalah usia 70. Sebelumnya, saya belum pernah mendengar nama narasumber yang hendak saya wawancarai. Mungkin, saya lebih mengenal nama sang anak, yang merupakan musisi. Hingga tiba pada hari wawancara dengan narasumber. Sehari menjelang idul adha 2015.
Benny Hoedoro Hoed, profesor dan guru besar linguistik Universitas ‘jaket kuning.’ Pada hari itulah, saya banyak ngobrol dengan pria yang lemah lembut ini. Dengan tutur katanya yang halus, saya hanyut bersama ceritanya yang menggelinding begitu saja, seperti alur kehidupannya yang menggelinding saja. Ia yang tak pernah mengharapkan apapun, kecuali satu, menjadi pengajar. Ia bercerita cukup banyak. Mulai bagaimana ia memulai kehidupannya dalam dunia penerjemahan, yang dimulai secara tak sengaja ketika ia mendaftar sebagai guide negara asing pada perhelatan Asian Games di Jakarta era Sukarno. Bercerita bagaimana ia menduduki setiap jabatan kepemerintahan, dan minat besarnya pada kesenian, terutama musik. Sebagai remaja era 50an, ia menyukai jazz, lantaran pada masa itu, jazzlah rajanya. Harmonika menjadi pelampias kreatifnya diluar dunia pendidikan, penerjemahan, dan penelitian. Baginya, musik membuat seorang lebih berlaku lembut. Persis seperti yang tercermin dalam laku pria berusia 79 tahun itu, walau saya baru melihatnya beberapa menit, dan berbaur selama kurang lebih dua jam.
Ia yang dulu seorang atlet renang lalu pindah haluan ke polo air, dan berhenti karena harus fokus kuliah. Ia yang bercerita bagaimana semasa kecil, tak pernah mendapat ceramah dari sang ibu. Ibunya hanya mencontohkan tanpa memberi ‘ocehan.’ Baginya juga, seharusnya begitulah manusia, berceramahlah untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. hingga cerita bagaimana ketika ia jika sudah tiada kelak, akan mewariskan seluruh bukunya untuk Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, karena dari sanalah ia memperoleh kepintaran. Kini, ia telah beristirahat tenang. Tiupan harmonika tak lagi terdengar. Sepekan lalu, (18/11), Prof. Benny tutup usia, di usianya yang ke-79. Saya baru mendapat kabar, sehari setelah dirinya mangkat. Kak Bintang, redaktur, editor, dan yang memberikan tugas saya untuk mewawancarai almarhum Prof. Benny. Saya kaget! Sebelumnya, tak ada kabar, tak ada televisi, dan ponsel saya baru saja hilang, dua hari sebelum Rabu, hari kelabu itu.
Tak ada kenangan berfoto bersama dengannya. Yang ada, hanyalah riwayat percakapan saya dengannya, sebelum dan pasca wawancara dengannya. Serta tayangan video musik jazznya, bersama rekan sejawatnya. Sayangnya, itu semua berada di ponsel saya yang hilang. Pasca wawancara, kami masih berbalas pesan melalui WA. Terlebih karena ada koreksi terkait jabatannya, ia minta dikoreksi, karena tak enak dengan temannya. Selebih itu, ia mengatakan saya seorang yang baik, dan saya membalasnya, “semoga kita bisa berjumpa lagi dilain kesempatan, Prof. Terima kasih.” Sungguh saya amat bersyukur. Sebelum tulisan termuat, ia juga berkali-kali mengingatkan saya melalui pesan WA, agar mencantumkan anggota keluarganya. Ia juga memberikan pernyataan tambahan yang menguatkan, bahwa keluarga sangatlah penting baginya, meski ketika wawancara pun, ia juga berkali-kali menyinggungnya. Ia seorang yang begitu baik, lemah lembut, arif, penyayang keluarga. He’s Family Man.
Kini, yang tersisa, salah satu buku karyanya yang diberikan pada saya, kajian tentang semiotika. Ingatan bagaimana hari itu saya tiba di kediamannya. Bagaimana saya begitu tegang menunggunya di pendopo kecil di sekitaran halaman rumahnya. Selain gugup, karena ada anjing kecil yang membuat saya takut. Saya tidak menyangka, hari itu adalah hari terakhir, saya bertemu sekaligus ngobrol dengannya. Kenangan yang paling saya ingat, bagaimana ia menjelaskan konsep ‘menerima dan mengelola kekalahan’ kepada saya. Terima kasih, ayah Anto Hoed, mertua Melly Goeslaw, dosen Universitas Indonesia, dan inspirasi ‘baru’ dalam hidup saya, peniup harmonika sekaligus ahli penutur yang arif, atas pengalaman yang engkau dedahkan, cerita yang kau narasikan, pelajaran yang kau transferkan, dan pertemuan terakhir kita, untuk pertama. Selamat beristirahat, tenanglah bersama tanah basah November, bersama harmoni harmonika, doa-doa lembut yang terlantunkan, Prof. Benny Hoedoro Hoed.

Komentar

Postingan Populer