BENCI JOKOWI


Ekspektasi publik pada pemerintahan Jokowi rupanya tak seindah ketika euforia masa kampanye dan ‘pesta rakyat.’ Gaduhnya ruang politik yang pada akhirnya menyeret ke ranah hukum, membuat rakyat dari berbagai penjuru merespon atas ketidakpuasan mereka. Paling ramai menyita perhatian publik, adalah penangkapan Bambang Widjojanto, petinggi KPK oleh POLRI, efek domino penetapan tersangka Budi Gunawan, calon tunggal KAPOLRI.
Namun, respon Jokowi terkesan lambat dalam menghentikan laju bola panas yang bergulir. Akibatnya, ia hanya melakukan penundaan pelantikan BG, setelah lolos fit and proper test DPR. Setelah timbul buntut penangkapan BW, Jokowi pun hanya mengeluarkan pernyataan yang membuat dahi berkenyit, dan menelan ludah, “Jangan ada kriminalisasi.” Pernyataan yang akhirnya membuat BW dibebaskan.
Baiklah, mari berandai. Berandai, memang tak baik. Namun, setidaknya, kita bisa merunut dari mana sengkarut ini bermula.  Awalnya, Jokowi menetapkan BG sebagai calon Kapolri tunggal. Tanpa pelibatan KPK dan PPATK dalam pemilihannya. Tentu, ada yang tidak beres. Saat pemilihan menteri, BG mendapat rapor merah dari KPK, ia tak lolos. Tidak mungkin Jokowi tidak mengetahui hal ini. Lalu, kenapa ia justru memajukannya dalam pencalonan sebagai Kapolri, calon tunggal! Padahal, Kapolri Sutarman masih aktif, dan belum memasuki masa purna jabatan. Agaknya, Jokowi melalui tebing terjal, dalam keputusan ini. Seperti yang sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya, (AWAN MENDUNG BIROKRASI JOKOWI http://tfrozak.blogspot.com/2015/01/awan-mendung-birokrasi-jokowi.html). Kompromi politik yang dilalui Jokowi, tidak mudah. Ia harus menghadapi ‘nyonya tua’ sebagai bentuk takdzimnya yang telah memberinya kesempatan dalam pencalonan Presiden. Namun, Jokowi harusnya sadar, rakyatlah yang memilihnya. Rakyatlah, yang mengantarkan ia sebagai orang nomor satu di Indonesia saat ini. Nyonya tua memang memberikannya kesempatan, namun  andai rakyat tak memberinya kemenangan? Andai, Jokowi mampu membuktikan ucapannya, kala memilih para menteri, memilih Jaksa Agung, Kapolri, dan Wantimpres, yang pada masa bulan madu ia katakan tak akan bagi-bagi kursi. Tak terjadi sirkus politik, dan pada gilirannya, memakan korbannya, BW.  Andai, Jokowi berani melawan rongrongan partai pendukungnya, dan melihat keniscayaan dukungan rakyat. KPK saja dibela, apalagi di Presidennya (?) Andai, Jokowi tak menunjuk BG, andai.
Respon lamban Jokowi, meski telah membentuk Tim 9 yang terdiri dari berbagai lapisan tokoh masayarakat, sebagai tindak lanjut kisruh KPK-Polri, tidak berdampak besar. Dikotomi terasa dalam masyarakat, khususnya yang memilih Jokowi dalam pemilihan Presiden. Ada yang masih tetap membela, ada pula yang akhirnya mencela. Membela karena ia yakin, Jokowi akan menghasilkan putusan yang baik, mencela karena ia tak puas atas kebijakan yang dikeluarkan Presiden. Kedua-duanya tak baik. Membela, jika buta, tanpa melihat realita, tentu tak akan membawa perubahan, gampangnya, berkata benar, bukan yang membenarkan kata (Presiden). Mencela, jika didasari dengan benci, tanpa spirit untuk memperbaiki, jelas membawa dampak destruktif.
Bukankah, Ghandi telah mengajarkan kita, melakukan segalanya atas dasar cinta, karena itulah yang akan membuat kita, untuk melakukan sesuatu, tanpa pretensi. Seharusnya, begitu pula, apa yang dimiliki para petinggi parpol, politisi, penegak hukum, Paloh, Mega. Karena cinta, tak akan ada bagi kursi, karena cinta, tak akan ada politisasi, karena cinta, rakyat sejahtera. Seperti tembang Koes Ploes, “Cinta Mulia.” Begitulah, apa yang perlu dipupuk oleh rakyat, menuju negeri penuh cinta. Maka, siapapun yang mencela atas dasar benci, tanpa kritik yang membangun dan solutif, agaknya, perlu ditunda dulu, membencinya, mari, sembari menunggu Jokowi sarapan sebutir cinta ceplok, tundalah benci.

Komentar

  1. nitip dah bang http://alfridhoyuliananda.blogspot.com/2015/01/jokowi-oh-jokowi.html

    ternyata kita punya kesamaan pandangan hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Bercuap ya..

Postingan Populer