POLITIKAKUS
(BERPOLITIK
DALAM KAKUS)
Panggung politik tak
hentinya menabuh genderang, mengajak masyarakat larut dalam pusaran gaduh yang
direka para elit. Begitu berpengaruhnya Budi, sampai Presiden berurat tegang
memutuskan sikap sekembali dari ‘pelesir’ luar negerinya. Ada apa Indonesia?
Indonesia
bukanlah melulu Budi Gunawan. Masih ada Papua yang harus bergulat dengan
Freeport, masih ada Nusa Tenggara yang harus berjalan berkilo meter untuk
sekadar menemukan air bersih, masih ada Munir yang belum diperkarakan juga,
justru Pollycarpus dibebasbersyaratkan.
Benar
apa kata pepatah Perancis : “L’histoire
se repete” bahwa sejarah selalu berulang. Namun, kita begitu cepat,
mengulang sejarah itu, baru saja kemarin, kita mengatakan “Presiden Kemana?”
pada masa pemerintahan SBY, karena begitu lambannya dalam respons-respons suatu
kasus, sama halnya ketika kasus cicak versus buaya jilid I, ketika KPK masih
digawangi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Maka, terulanglah kembali
sejarah itu, dalam arsip memori masyarakat, ketika penetapan tersangka dalam
proses penyelidikan calon Kapolri tunggal Budi Gunawan, mengakibatkan efek
domino terhadap KPK. Muncullah panggung yang dimeriahkan oleh badut-badut
partai yang berkoar, sebut saja Hasto Kristianto, dari partai moncong putih,
yang mengatakan Samad pernah melobi partainya, untuk menjadi cawapres
mendampingi Jokowi. Lalu, berseliweran pula rekaan narasi para dalang politik.
Baiklah,
Jokowi, anda sudah pulang dari ‘pelesir’ dan kami sudah mendengar, satu kata
“secepatnya.” Baik, cepat menurut anda itu yang seperti apa? Anda kalah cepat
dengan hakim tunggal yang memutus perkara praperadilan BG, Saprin. Kini, sumbu
telah disulut, maka, tinggal tunggu saja, sesampainya sumbu itu memicu ledakan.
Sepanjang saya mengamati para pakar hukum di layar kaca dalam banyak
kesempatan, praperadilan tak bisa digunakan untuk memutuskan sah atau tidaknya
status tersangka. Baik, kita lihat saja nanti, ke depannya, ketika para
koruptor yang dinyatakan tersangka oleh KPK, akan melakukan hal yang sama
dilakukan BG dengan para pengcaranya, mengajukan praperadilan, dan di kasus
depan, akan merujuk pada apa yang dilakukan BG, dan yang diputus hakim tunggal
Saprin Rizaldi.
Meski
rakyat telah menjerit, namun parpol pendukung tetap bersikukuh mengajukan BG
untuk dilantik menjadi Kapolri. Entah, apa yang sudah diberikan BG sebagai
kontribusinya dalam masa kampanye Jokowi, sampai-sampai, partai moncong putih
membela mati-matian, BG untuk dilantik. Lalu, bukankah Jokowi juga mendapat
dukungan dari para pendukungnya, para relawan, yang tidak ‘cawe-cawe’ jabatan. Andai memang benar, jika BG telah keluar banyak
biaya dalam mengantarkan Jokowi sebagai presiden, siapakah yang lebih pantas
disebut patriot? Sipakah yang pantas menyandang gelar ‘tanpa pamrih’? Relawan,
atau BG?
Jika
benar, bahwa Jokowi hanya sebagai umpan dalam kail, yang menutupi gerak-gerik
dalang dibalik narasi, dan dengan leluasa membiarkan dalang memasukkan
tokoh-tokoh yang tak pantas dianggap patriot dalam plot, dan mengarang
seekstrem alur sesuai jalan kekuasaan dalang, dan berpolitik dengan cara
politik Ghandari (di luar pemerintahan, tetapi ikut mengatur pemerintahan, di
luar struktur kekuasaan tetapi ikut mengatur kekuasaan). Pada muaranya, yang
dianggap legawa dalam memberikan kesempatan pada yang muda, hanyalah sebatas
retorika, nyonya tua. Maka, benarlah apa yang dinyanyikan Iwan Fals, “Hei Bung Karno, nyenyakkah tidur abadimu? Dingin
yang aneh menyiksa negeri.”
Tak
ubahnya, proses politik di negeri ini, seperti halnya berpolitik dalam kakus.
Hanya memuaskan hajat pribadi. Tanpa mementingkan rakyat. Kakus adalah tempat
privasi bagi pribadi, dan bukan untuk bersama. Begitulah, negeri ini, ibarat
kakus bagi para politikus dalam membentengi diri dari siapapun yang berusaha
melawan, agar, hajat yang akan dikeluarkan, terwujud secara aman, tanpa
gangguan dari pihak manapun, bagi yang menganggu dan ‘berbau’ akan dilarutkan
dalam pusaran air yang disiramkan, hanyut bersama kotoran.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..