KONTEMPLASI SORE HARI
Sore
yang hening, di dalam kamar aku bersembunyi dari bau aspal sehabis hujan.
Tetesan air kran seolah-olah menjadi pengisi
keheningan sore. Berjibaku dengan kertas-kertas, semut-semut yang
menjadi penghias lantai, dan suara ketikanku di papan ketik laptop, menjadi
pendamping serasi tetesan air kran. “Ya,
tentu keluhan memang selalu ada, tapi kami berusaha semaksimal mungkin untuk
mengatasinya.” Itu bukan aku, atau lawan bicaraku, di kamar aku hanya
sendiri. Itu suara rekaman dari hand phone. Bisa dibayangkan? Nadanya
diplomatis, menghindari kesalahan pengucapan, dan bicaranya hati-hati. Yah,
siapa lagi kalau bukan ciri-ciri sosok pemimpin yang ada saat ini. Dia salah
satunya, ketua BEM. Penampilannya yang flamboyan dan raut wajahnya yang seakan,
uh.. bukan wajah rakyat proletar, mungkin lebih tepat dia salah satu manusia kaum
borjuis. Bukannya aku menjelekkan pemimpinku sendiri di kampus, tapi ya
begitulah deskripsi faktanya, aku tak mau menceritakan fakta, nanti disangkanya
justru aku bernarasi.
Kembali
ke suasana sore heningku, setelah hujan membasahi bumi, saatnya aku
menghangatkannya dengan tulisan. Yah, aku sedang menyusun tulisan untuk
majalahku di kampus. Kenapa tulisanku bisa menghangatkan? Tentu, di situ aku
menulis kabar yang sedang mengepulkan asap. Mungkin asapnya meracuni, seperti wedus gembel, panas, bergumpal, dan
padat. Bukan berniat meracuni atau pun menggiring orang-orang yang membacanya
nanti, tetapi lebih kepada menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.
***
Setibanya
di kampus, aku menuju ruang redaksi. “Aku sudah baca tulisan yang semalam kau
kirim.” Adu Onil padaku. “Terus, gimana? Bisa kan?” aku mencecar untuk mendapat
jawaban lebih lanjut. “Terlalu bahaya, riskan untuk kita yang berada di bawahnya
secara organisasi,” tolak Onil. “Ah.. persetan lah dengan birokrasi! Dari dulu
kan sudah ku bilang, kita bentuk majalah ini independen saja! Jadi kita bebas,
nggak ada beginian.. Terus, tulisanku mau kau tidak terbitkan?” Aku semakin
menjadi seketika itu. “Jek, kalau independen, kan nggak dibolehin sama pihak
kampus,”
“Ya
itulah nil, mereka itu takut, takut kita bicara yang sebenarnya. Mereka takut,
borok-borok mereka ketahuan, ya.. mereka para joki skripsi, mereka yang pungli,
semuanya, semuanya takut mengakui kesalahan. Itu saja!” aku langsung memotong
perkataan Onil, dan aku keluarkan semua kegelisahan dan keresahanku.
“Tapi,
maaf Jek, kali ini terlalu fulgar, jadi,” Onil belum selesai bicara, aku
menyambarnya lagi, “Ah, jadi kau sekarang berubah jadi pecundang nil? Memang
sudah saatnya kita begitu, fulgar, mau sampai kapan memakai sindiran-sindiran
halus?”
“Ada apa ini ribut-ribut? Suaranya
kedengeran sampai luar sana!” Seketika Yusrina memecah kemelut yang sedang
melelehkan lahar panas di ruang redaksi. “Masih pagi juga, ada apa Jek, nil?”
“Tanya saja sama pemredmu itu!”
Daaarrr!!! Aku keluar dari ruang redaksi, meninggalkan Yusrina dalam
kebingungan dan Onil yang juga, bimbang. Aku menuju kelas, menaiki satu persatu
anak tangga. Mungkin hari ini akan sedikit hening, sehening kemarin sore
sehabis hujan. Kali ini, bukan hujan yang mengheningkan ku, tetapi kekecewaan
terhadap Onil, yang tidak mau menerbitkan tulisanku, hanya karena ketidak
amanan. Hah, alasan sejuta ummat, alibi pasaran. Aku sempat berpikir, haruskah
aku yang berjuang sendiri? Melakukan revolusi anarki ini, tanpa tangan dan
kaki? Mungkin tidak akan pernah terjadi, ya karena revolusi harus dilakukan
bersama-sama, butuh massa yang banyak untuk mengeksekusinya, tidak mungkin
kalau sendiri.
***
Sampai saat ini aku masih berpikir,
berharap pada BEM? Ah, bagai berharap pada gelas kosong : hampa. Mungkin aku
harus masuk ke dalam untuk merombaknya, atau.. ah, entahlah. Kenapa aku begitu
peduli dengan tai kucing ini. Bahkan, orang-orang yang sedang aku bela haknya
itu, sedang asyik bersenda-gurau di kantin, menjual tawa, bicara ngalor-ngidul, banyak berseliweran obrolan
yang seperti awan, indah tapi tak berbekas, ngambang. Mungkin karena sudah
menjadi naluriku, untuk melawan ketidak benaran, itu juga sebenarnya karena aku
banyak terpengaruh dengan tulisan-tulisan Soe Hok Gie. Seperti katanya.
“Mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”
Sore menjelang senja, hal yang
paling ku suka, duduk menyendiri di bawah pohon rindang, di tepian kolam
kampus, sesekali teman menyapa, sesekali ada dari mereka yang duduk, lalu
ngobrol denganku. Memberi makan ikan-ikan yang bergerombol, menanti ada
sepotong roti jatuh mengenai bibir yang mencuap-cuap.
“Aku dengar kemarin kamu marah-marah di ruang redaksi?” Pertanyaan
dari manusia bersuara lembut bak lelehan coklat cair, Selma.
Aku
sedikit kikuk ketika ditanya manusia itu, seakan mulut besarku ini dibungkam
dengan benang jahit. Tubuh seraya mati kutu. Dia bukan anggota kami di majalah,
tapi dia sering mengirim tulisan mengenai pendapatnya tentang politik, dan
jelas, aku yang selalu merevisi tulisannya sebelum dimuat, karena aku mengasuh
rubrik politik.
“Ah,
kata siapa?” Sebuah pertanyaan balik yang hambar dan kurang penting keluar dari
bibirku.
“Membaca
tulisanmu memang memberi daya magis buat yang baca apalagi aku, seakan-akan
kamu itu menyisipkan mantra di setiap kata, untuk menggiring opini orang, untuk
bertindak demikian. Tapi, terkadang kamu juga harus tahu bagaimana situasimu
sendiri, Jek. Ya, nggak semuanya orang suka kan sama tulisanmu, pasti ada dari
mereka yang nggak suka sama yang kamu tulis, dan mungkin itu bisa jadi boomerang buat kamu, Jek.”
“Tapi
Sel, kalau bicara suka atau tidak suka, aman atau tidak aman, nggak akan keluar
tulisan, nggak akan ada gerakan, nggak akan ada tanggapan, reaksi. Itu
menurutku benar, dan aku nggak mengada-ada dengan tulisan itu, aku muak sama
keadaan yang membelenggu seperti ini, sudah saatnya kita keluar dari penjara,
Sel.”
“Em..
penjara? Penjara apa? Maksud kamu Jek?”
“Ya..
penjara, belenggu yang memenjarakan diri kita, kita harus buka pintu penjara
Sel, penjara kebebasan, bebas berbuat, bebas berkata-kata, bebas berbicara, dan
bebas berekspresi, tetapi tetap berbatas!”
“Hem..
aku ngerti sekarang, mungkin banyak dari mereka, aku juga, yang masih
membelenggukan diri, jadi ya.. masih belum berani untuk berbuat sesuatu yang
memang menurut hati nurani itu benar.”
“Nah,
itu lah. Segala sesuatu yang berasal dari hati nurani, pasti akan baik kok
Sel.”
Selma
tertawa kecil, dan ia tersenyum. Pertanda ia mengerti apa yang aku bicarakan di
sore ini. Sore, waktu yang selalu tepat untuk berdiskusi . “Yuk, pulang.”
***
Kriiing....
Kriiiing.... Kriiiing...
“Halo?
Siapa nih?”
“Jam
tujuh! Kita tunggu di Kool Cafe! Meja samping kaca nomor tujuh. Dateng sendiri
aja!”
“Eh,
siapa nih?” Hei!!!
Tuut..
Tuut.. Tuut..
“Halo..
Halo.. Hei!!”
Pukul
lima aku terbangun, mendapat telpon dari orang seberang yang tak dikenal. Dia
menginstruksikan untuk datang ke Kool Cafe, bertemu dengannya. Mungkin, hal
seperti ini yang ditakutkan Onil dan Selma. Sejenak aku berpikir, keraguan
mulai menyembul mengitari kepalaku. Aku bimbang, entah apa yang akan terjadi
setelah ini.
***
Setibanya
di depan kafe itu, dari luar aku mengamati keadaan sekitar, dari kejauhan aku
mencari-cari meja nomor tujuh samping kaca, persis seperti apa yang telah
diinstruksikan si penelepon misterius itu.
“Jek,
ya kan?”
“Iya,
yang tadi telepon..” Ketika aku masih dalam kebingunganku, seorang perempuan
menyela pertanyaan yang hendak aku tanyakan.
“Oh,
itu. Kamu nggak usah bingung. Duduk aja dulu, sini.”
Sepertinya,
aku pernah melihat perempuan ini, aku berpikir keras untuk mencoba
mengingatnya. Mencoba menghadirkan ingatan yang sepertinya belum lama terekam. Em..
dia.. dia...
“Mau
pesan apa mas?” Tanya seorang pelayan kafe padaku yang membuyarkanku ketika aku
berusaha mengingat-ingat.
“Oh,
saya kopi hitam saja mbak.”
Kalau
yang satunya, laki-laki ini, eh.. sepertinya aku belum pernah melihatnya,
mungkin tadi dia yang meneleponku. Siapa ya perempuan ini, ah.. kenapa aku
mendadak lupa.
“Sebenarnya,
kalian berdua ini siapa ya? Ada perlu apa sama saya?” Tanyaku yang masih
diliputi kebingungan.
“Oh,
iya, dari tadi kami belum kenalin diri. Saya Liana, dan ini, Bob.”
Lagi-lagi,
perempuan ini yang bicara, sepertinya ia yang memanuver semua ini.
“Jadi,
Jek. Kami dengar kemarin kamu lagi nunggak bayar sewa kontrakan ya?” Memang
sebulannya berapa sih?”
Ha..
aku terkejut dia tahu masalahku ini. Ah, ada apa ini? Apa yang terjadi? Pasti
Onil.
“Eh..
maaf, terus kalian ini siapa? Memangnya kalian mau apa?”
“Kan
tadi kita sudah kenalan, ya jelas mau bantu kamu lah Jek.”
“Bantu?
Saya kan tidak kenal kalian sebelumnya, kalian juga tidak kenal saya kan
sebelumnya? Kalian tahu dari si Onil ya?”
“Haha..
ya, ya, si Onil cerita sama kita berdua. Kami ini tetangga kontrakannya. Masak
nggak pernah lihat saya sih?”
Ah..
apa benar mereka ini tetangga kontrakan Onil? Apa aku melihat perempuan ini
ketika aku ke kontrakan Onil? Em..
“Kami
ini sudah lama kenal sama Onil, dia selalu cerita masalahnya sama kami.”
Perempuan itu berusaha membuatku yakin.
“Tapi,
ada satu syaratnya, kalau kamu mau kami bantu, tulisan kamu yang baru itu,
jangan diterbitkan ya. Delete saja
dari komputermu! Lagian, tulisan kamu itu bahaya loh.”
Mendengar
itu, aku tertegun, seolah-olah aku ragu, tak yakin dengan kedua orang yang ada
di depanku. Aku mulai berpikir keras, ada apa ini sebenarnya? Apa benar mereka
kenal Onil? Aku mulai muak melihat yang ada di depanku.
“Maaf,
anda salah orang!”
***
Tulisan
itu belum keluar, tapi mengapa dampaknya sudah ada. Kejanggalan yang ku temui
tadi pagi, membuat ku bermenung, di bawah pohon yang rindang, di tepian kolam
kampus, angin yang seakan menggodaku untuk merebahkan tubuhku di rumput hijau,
matahari sore yang tak begitu terik, hening, kebetulan ini Sabtu, tak banyak
mahasiswa yang datang ke kampus. Hanya terlihat sebagian, mereka yang ada kelas
di hari ini. Aku teringat tulisan Soe Hok Gie, “Saya tak mau jadi pohon bambu,
saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.” Itu yang ingin aku
lakukan, aku tak mau mengikuti angin, angin yang menerpaku, justru aku ingin
menentangnya, menyuarakan kebenaran.
“Hai,
Jek. Sendirian aja? Duluan ya” Terdengar suara menyautku dari kejauhan,
ternyata itu adalah Djati, Djati Dipa ketua BEM yang makan dana hibah milik
para mahasiswa. Ia berusaha menutup-tutupinya, tapi jelas-jelas bukti sudah aku
kantongi. Mari, tunggu saja, Djati.
“Hai,
Iya.” Hah, aku muak melihat muka yang seolah tak berdosa itu. Ah, aku baru
ingat, perempuan tadi kan ketika aku wawancara sama Djati, dia ada di ruang
itu, sebelum ia pamit pergi. Oh.. ya, sekarang aku ngerti. Dia juga ada
kaitannya dengan ini.
Mungkin
beginilah caraku mengungkapkan kebenaran. “Saya memutuskan bahwa saya akan
bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah
terhadap kemunafikan.” Itu kata Soe Hok Gie, dan itu menjadi pandangan ku dalam
menjalani hidup.
***
“Nil, kalo kamu emang
bener nggak mau muat tulisanku, ya sudah. Aku mau fotokopi tulisan ini, lalu ku
bagikan ke anak-anak, dan ku tempel di sudut-sudut kampus. Inget kata Gie nil, Bagi
saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan
kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita. ”
Itu isi sms ku kepada Onil, sebelum aku menyebar tulisanku di kampus.
Setelah
aku fotokopi tulisanku ini, aku kembali ke tepi kolam, di bawah pohon yang
rindang. Sebelum aku menyebarkannya, aku ingin berkontemplasi dulu di sore yang
tenang ini, setidaknya apa yang aku lakukan ini, adalah berasal dari hati
nurani, bukan atas kehendak otak maupun tubuh, karena segala sesuatu yang
berasal dari hati pasti akan berbuah baik, sementara otak adalah penjara bagi
tubuh, dan tubuh adalah penjara bagi jiwa, sebaik-baik manusia adalah yang
terbebas dari penjara itu. Setidaknya, aku telah bebas dari kungkungan penjara
diri, dan menyuarakan kebenaran, atas kehendak hati.
“Jek..
Hei!!”
“Hei,
nil!”
Dorr!!
Brak.. Byur...
Seketika
hening, Onil berlari mendekati Jek yang tersungkur dan tercebur kolam dengan
berlumuran darah. Kertas-kertas fotokopian itu berterbangan dan akhirnya
tercecer. Mahasiswa lain berlari, mengerumuni tepi kolam. Sementara, tiga orang
dari kejauhan terlihat mengguratkan senyum kepuasan, pertanda telah meraih
kemenangan.
***
memang begitu keras kehidupan luar, sudah banyak orang yg berorganisasi dan banyak orang pula menyusun stategi didalamnya (entah misi baik atau bahkan misi terselubung).. sering ku bilang, pasti ada pro dan kontra. dan mereka yg masih saja melindungi kesalahan (dimana mereka sudah tau kebenarannya tapi malah ingin menghilangkan kebenaran itu), mereka semua itu sudah tercampur atau bahkan juga melakukan kesalahan yg sama dan mereka tetap menjalankan misinya yg akhirnya merugikan generasi bangsa. mereka tidak mau hancur jek, dengan ketauannya kesalahan mereka, mereka sudah senang dan bangga dengan jabatan, tugas dan kebohongan yang mereka lakukan.
BalasHapussaranku, aku setuju jek dengan misimu.. tekatmu yg ingin jadi tonggak untuk melawan angin yg selama ini belom ada yg mau seperti kamu. "berharap ada sosok yg tiba-tiba tau ceritamu dan tau tulisanmu, dan dia berhati benar yg ingin menerbitkan tulisanmu itu". mustahil sangat seperti drama scenario film saja.
ya kamu jek, kamu sendiri, perlahan dengan usaha kecil-kecilan dengan mempublikasikan ceritamu sendiri itu mungkin bisa membantu mengexploitasikan tulisanmu.
bagus kok zaq, banyak pesan tersurat dan tersirat yang bisa dipetik. Kalo boleh mengkritik dari tata penulisan kalimat sepertinya ada beberapa kalimat yang terlalu banyak penggunaan tanda koma.
BalasHapusUntuk alurnya udah bagus, cuman klimaksnya kurang ngena dan solusinya nggak keliatan zaq. Di sini seakan-akan kamu menyembunyikan watak onil dan ketua BEM. Kalo bisa beri celah sedikit lagi untuk memaparkan bagaimana watak onil dan ketua BEM entah melalui pesan tersirat maupun tersurat. Aku sebagai pembaca ada keraguan, sebenarnya si ketua BEM itu 'benar-benar picik' atau 'dikira picik'. Tapi udah keren kok zaq. Aku suka sama ceritanya. Ohya kalo boleh tau, ini cerita asli atau fiktif? hehe :D . Kalo emang asli, aku beri rating 9 (rating maksimum 10) buat ngedukung tokoh Jek. Cuman pesen aja sih, jangan memutuskan suatu tindakan dengan pikiran kusam, tenangkan dan bersihkan, lalu ambil tindakan positif. Udah deh itu aja kali yaa :D
Maap yak kalo ada salah kata. semoga sarannya membangun hehe.
@ kiki
BalasHapusiya ki... sosok pemimpin yang seolah-olah "sok" dekat dengan rakyat, dan segala tetek bengeknya bikin muak..
ki, tolong kritik dong kekurangannya, please! :)
@ oza
wah za.. makasih atas kritik dari segi penulisan dan tulisan, jadi nanti bisa direvisi, hehe.. sebenernya aku memang menyuguhkan di akhir itu sebelum ada solusi atau klimaks, si tokoh Jek sudah aku buat mati, jadi kena tanggung istilahnya ceritanya za. Mungkin kalo watak Onil sama ketua BEM aku luput za, kurang kuat karakternya. Ini fiktif kok za, hehe.. mau nanya, itu pesennya untuk siapa yang pesen terakhir?
terus ini mau ada lanjutannya atau gimana zaq? kalo lanjut, jago2nya kamu cari ide cerita yang sekiranya nggak bikin pembacanya bosen yaa, kalo bisa justru dibikin penasaran :D semangat zaq!! kamu kan udah ahli, mesti bisa yo!
Hapushaha pesen e buat siapa yo? ya pesen buat Jek, kalo aku jadi temennya Jek di cerita itu lah.
satu kata saja jak, "KEREN".
BalasHapuskita seakan terbawa dengan cerita diatas.
good, good, tinggal buat visualisasi jak, jadi film dokumenter, hahaha
@bowo
BalasHapushehe.. makasih wo... kurangnya apa ini? tolong dong dikritisi dari segi penulisannya....
anjrit ini keren banget cuk, mau kita rubah ke bentuk film gak ? mari berantas pemimpin yang "sok"
BalasHapus