LAWAN TERUS! RUNTUHKAN BELENGGU PENJARA



Pernah terpikir kenapa kita tak leluasa makan durian di hotel, atau membawanya di pesawat? Hanya karena Amerika, Eropa tidak suka bau durian. Lalu, kenapa kita nurut ya? Pernah terpikir : kenapa terasi hilang dari kebanggaan dapur kita, dan diganti bumbu masak impor? Pernah terpikir: kenapa kita, kaum pria, tak leluasa mengenakan kain sarung untuk bekerja kantoran? Sejak kapan kita merasa bersalah melakukan?
Begitulah, kehidupan sosial budaya kita yang semakin terbelenggu dengan arus zaman, mengkhianati kenyataan yang murni, tertutupi rasa ‘malu’ atau ‘canggung’ yang dibuat-buat, sehingga kenaturalan pribadi bangsa, semakin terkontaminasi. Kita dipermainkan oleh pakem-pakem global, “diakali melek-melekkan.” Sebagai contoh, kita begitu takzim pada bangsa barat, mengagungkan mereka. Kita lebih menyukai barang impor, seakan-akan, yang bukan impor, tidaklah elegan. Akhirnya, kita hanya berpacu pada sesuatu yang baru, mengikuti arus, menjadi pengikut, namun lupa untuk berkaca, bahwa kita telah menjadi produk seragam mesin industri. Inilah yang perlu kita bongkar! Belenggu kemunafikan, yang mengasingkan kejujuran untuk menjadi diri sendiri.
Lingkup sosial budaya, yang sudah terkungkung oleh penjara-penjara kemunafikan, menjalar ke semua aspek kehidupan. Hukum, kesejahteraan, politik, kesehatan, kehidupan beragama, bahkan Tuhan sendiri pun  dijadikan bahan mainan.
Mereka, yang mengatasnamakan agama, menuhankan Tuhan, dan membelaNya, seolah-olah adalah kaum pembela kebenaran pemberantas keburukan. Cara-cara mereka tak santun, padahal Tuhan Maha Santun dalam menegur hambanya. Adanya penyegelan masjid, karena dianggap menyimpang dalam ajaran, atau karena berbeda paham, bukanlah kejadian satu-dua kali di negeri anarki ini. Mengisyaratkan bahwa pluralisme telah tergerogoti, hampir mati.
Perbuatan saling menyalahkan, beranggapan yang paling benar sendiri, telah menjadi konsumsi masyarakat. Mungkin, memang benar pepatah tua mengatakan : “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat.” Memang, agaknya kita perlu berkaca. Berhenti saling menyalahkan, berkaca pada kesalahan sendiri, dan membenahinya. Tak perlu membela Tuhan, membawa panji-panji agama, karena Tuhan tak perlu dibela.
Kehidupan semakin tak bermoral. Peraturan seperti sudah tak berguna. Para pemimpin mengais kekuasaan. Mengekorlah para penjilat di belakangnya. Bersiap menadah profit, gampangnya, bagi jatah. Dalam politik, banyak kita lihat, para elit partai, mengakunya penyambung lidah rakyat. Namun, sekali lagi, kita dibuat seperti sapi ompong, ekstremnya lagi kita dibentuk menjadi generasi kosong. Berharap pada kesejahteraan, melalui amanat yang dititipkan, tetapi tak kunjung datang, hanya bisa menunggu, hingga akhirnya kita – rakyat, rindu akan sebuah pencerahan, bukan hanya sebatas pergumulan opini, namun bukti.
Dalam setiap masa kampanye menjelang pemilu, mereka sudah pasti memberi kata-kata indah, memanjakan kita dengan bayang-bayang yang membuat terbang melayang, tetapi ketika mereka sudah terpilih, seperti kacang lupa kulit. Suara-suara minoritas tak lagi digubris, justru kalau perlu dicekik agar tak bersuara. Dibungkam dengan pencitraan, tanpa realisasi tindakan. Mereka merencanakan, membuat, dan mengesahkan undang-undang. Katanya, demi kesejahteraan, kemajuan bangsa, atau segudang propaganda manis lainnya. Tanpa mereka sadari, kebijakan-kebijakan yang mereka buat, hanya menyengsarakan rakyat, dan akhirnya kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk manfaat si pembuat undang-undang, para kaum oportunis. Politik kini hanya sebagai sarana mereka menuju kekayaan pribadi, kesejahteraan dinomor duakan.
Kini, seni telah berubah fungsi, menjadi ajang penonjolan diri. Popularitas merangkai sebuah karya nyata. Penghias kepuasan untuk meraih cita-cita yang lama sirna. Nampaknya, putih tak ada, hitam pun tak ada, yang ada menjadi samar. Beranggapan bahwa seni itu busuk, dan politik itu indah, seniman menjadi politikus untuk menuju keindahan. Ya, begitulah caranya walaupun busuk tetapi masih terlihat indah. Merangkai kata penuh makna, untuk mengoyak rakyat jelata. Analoginya, jeruk pahit, merica pahit, lalu apa bedanya dengan para politikus yang duduk di sana, berbicara tanpa mengenal dosa, berkarya tanpa rasa.
Berbicara rasa, kini sepertinya hukum sudah tak menggunakan rasa. Menghukum maling kecil dengan dakwaan berat, sedangkan maling besar dilindungi. Bisa kita bayangkan, maling ayam babak belur dihajar warga, maling duit negara tersenyum di depan kamera. Di manakah rasa itu? Rasa yang merefleksikan simpati, perasaan, dan empati. Masih ingatkah dengan kasus penabrakan yang mengakibatkan hilang nyawa oleh anak seorang menteri, yang kini maju sebagai calon wakil presiden. Hingga kini, kasus tersebut entah menguap ke mana. Sekarang memang benar, “Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Para birokrat, pemegang wewenang, dan orang terpandang, akan mendapat keringanan jika mereka terkena tindak hukum, sedangkan, rakyat jelata, orang biasa, tanpa jabatan berarti dalam sistem stratifikasi sosial, seperti dimusuhi habis-habisan, mereka ditelanjangi, dikuliti hingga yang tersisa adalah rasa penindasan keadilan. Jika sudah seperti itu, maka sudah menyeleweng jauh, dari esensi hukum itu sendiri : “Equality before the law” semua sama di mata hukum, benarkah demikian?
Sistem yang ada, memang sudah memenjarakan kita. Untuk bergerak, kita semakin terbatas, untuk berbicara, kita semakin dibungkam. Rakyat yang seharusnya mendapat pelayanan optimal dari pemerintah – selaku pembuat kebijakan, seakan-akan ditelantarkan, dibiarkan teronggok mati, dikerumuni lalat-lalat hijau. Mereka, rakyat yang seharusnya sehat wal afiat, harus sakit sekarat.
Jaminan kesehatan, seperti oase di padang pasir. Begitu diimpikan. Seperti halnya di mata hukum, kaum papa bukanlah apa-apa , mereka selalu terlihat seperti menumpang di tanah sendiri,  hidup sehat yang mereka inginkan tak disambut baik. Sebaliknya, mereka para kaum The Have, selalu mendapat pelayanan prima. Uanglah yang bicara. Sudah tak asing lagi, ada sepasang suami-istri yang tak bisa membawa pulang bayinya lantaran belum mampu melunasi administrasi rumah sakit. Atau, ketika ada seorang bapak yang menggendong mayat anaknya, dengan berjalan kaki dari rumah sakit menuju rumahnya, tanpa fasilitas ambulans. Miris memang, seolah-olah yang boleh hidup sehat adalah para kaum borjuis, pemegang rupiah atau dolar, sedangkan mereka yang tinggal di kolong jembatan, mereka yang hanya mampu makan sekali dalam sehari, para kaum proletar, tak boleh merasakan empuknya kasur rumah sakit. Menginjakkan lantai keramiknya pun, sepertinya sudah hal yang istimewa bagi mereka.
Tak jauh beda di dunia pendidikan. Sekolah sebagai simbol kokohnya bangunan dalam pendidikan, diruntuhkan dengan kemirisan tragis. Banyak anak-anak yang tak memiliki gedung yang disebut “sekolah.” Mereka harus belajar di bawah genting yang bolong-bolong, dinding yang melompong, terpapas cahaya matahari, terguyur tetes air hujan. Ada lagi, mereka yang harus menempuh perjalanan jauh, menyebrang sungai tanpa jembatan, tanpa alas kaki, dan masih banyak kemirisan yang dijumpai. Hanya karena anggaran yang seharusnya dilimpahkan untuk mereka, para pilar bangsa, disunat oleh penguasa pusat dan para penjilatnya.
Ada lagi, kini anak SD pun sudah bisa membunuh! Bayangan saya, seorang pembunuh adalah dia yang berperawakan sangar, seram, namun, kepolosan bocah SD pun sanggup membunuh, teman sendiri! Ada pula, berkelahi sampai mati. Lebih menggemparkan lagi pencabulan di sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Orangtua, seharusnya tak hanya menyerahkan tanggung jawab pada sekolah. Sekolah, seharusnya tak hanya mentransfer ilmu, namun yang lebih penting adalah bagaimana menanamkan kepekaan rasa. Agar dapat berempati, bertindak selaras dengan rasa.
Sudah terlalu tebal penjara hidup yang membelenggu kita. Tentu kita tak bisa hanya terdiam tunduk menunggu jebolnya penjara secara sendiri. Hanya ada dua kata : lawan terus. Lawan terus pemenjaraan diri, lawan pemenjaraan hidup, yang membelenggu kita menuju manusia bebas, namun berbatas. Tak lupa, perlawanan secara kontinyu terhadap penjara perlu menggunakan nurani dan sukma.
Nurani dan sukma merupakan kunci utama untuk membuka penjara-penjara yang tersistem, maupun yang kita buat sendiri. Hanya saja, semua orang belum mampu menyadari adanya nurani dan sukma, bahkan mereka tak sadar sedang terbelenggu, oleh terali besi buatan sendiri. Maka, jalan satu-satunya untuk menyadarinya adalah “kontemplasi.” Merenung, secara penuh dan tulus, meluruhkan segala pasung yang membelenggu, menghadirkan rasa.   

Komentar

Posting Komentar

Bercuap ya..

Postingan Populer