MENCARI PANGERAN ANTASARI


Hari yang panas, langit tak menunjukkan gumpalan awan hitam, seolah-olah ingin memperlihatkan keperkasaan mentari. Ia masih berjalan, menyusuri jalan sembari menundukkan kepalanya ke jalanan. Matanya berbelanja ke kanan, ke kiri, langkahnya gontai, meneliti secara detail setiap jengkal aspal. Tokoh kita ini merasa, hari ini akan menjadi hari berat untuknya.
Sudah beratus meter ia berjalan, bahkan hampir berkilo-kilo. Seperti tak akan ada angin baik yang akan menghempasnya menuju suasana perut kenyang, duduk manis di ruang dingin, dan terhindar dari keringat. Sayang, tokoh kita ini bajunya sudah dibasahi dengan tetes-tetes keringat yang baunya menyengat. Wajahnya hitam kemerahan tak karuan, akibat terlalu lelah berjalan.
Dalam batin, ia bergelut dengan kritik-kritik beserta pembelaan-pembelaan yang ia cipta dalam intrapersonalnya. Batinnya mengkritik ketika ia tak mau menerima uang untuk ongkos oleh teman seatapnya. Batinnya pula yang membela, merasa tak enak saja kalau seperti itu. “Ah.. bodohnya aku, kenapa tadi aku tak bilang saja, kalau aku sudah tak punya ongkos!” Begitulah batinnya bergejolak. “Yah.. mau bagaimana lagi, toh sekarang aku sudah menolaknya, dan kini aku sudah seperempat jalan menuju tujuan, lagi pula aku tak enak kalau aku mengatakan sudah tak punya ongkos.” Batinnya membela.
Ia begitu yakin, seribu rupiah yang masih tersisa di kantong celananya, akan segera mendapat teman. Ia begitu yakin sekali di tengah perjalanan akan menemukan dua ribu rupiah. Itulah alasan mengapa ia tak mau mengatakan bahwa ia sudah tak memiliki ongkos naik angkot lagi. Namun, keyakinannya itu meleset jauh, seperti keyakinan bahwa cabai tidaklah pedas, namun nyatanya seperti itu. Kini, ia menyesali rasa gengsi dan tidak enaknya itu.
Tokoh kita ini lupa, mengharapkan sesuatu yang mustahil untuk diharapkan. Ia berharap menemukan dua ribu rupiah di jalan. Dikiranya jalan itu terbuat dari koin-koin dan kertas-kertas rupiah, padahal jelas-jelas terbuatnya dari aspal dan kerikil, aspal kelas teri, yang setiap proyeknya sudah dicurangi.
Namun, di sisi lain, ia menyadari, bahwa Tuhan tak akan memberi ujian untuk hambaNya di luar kemampuan hamba itu sendiri. Sehingga ia memutuskan untuk tetap berjalan. Sesekali ia merasa lelah, tas selempangnya berat, isinya ada kertas-kertas, buku-buku, sebagai bekal mencari ilmu.
***
Kini ia sampai di sebuah perempatan jalan, terdapat lampu merah, dan pasar. Ia begitu haus, lapar, jalannya semakin gontai. Ia hampir menyerah, setelah sebelumnya ia mencoba untuk nebeng motor yang lewat. Namun tak ada yang mau membagi sedikit jok mereka, tak ada yang mau memberi sedikit kebaikan yang dimiliki mereka. Keringatnya sudah membanjiri muka, punggung, dan pengharapannya terhadap dua ribu yang belum kunjung ketemu tak membuatnya menggerutu, ia justru semakin menggebu.
Di bawah pohon rindang, ia menghela napas untuk kembali mengumpulkan energi. Ia terkulai duduk di pinggir jalan, di pinggir rumah-rumah megah, milik para kaum borjuis. Memompa harapan yang sepertinya sudah tak mungkin ia dapat. Melihat orang minum air putih saja rasanya nikmat sekali. Ia dalam pertaruhan kelangsungan hidupnya, bertahan atau terkapar menuju penutupan cerita, mengakhiri dengan kemirisan tragik, mati kehabisan uang. Rupanya, dalam akhir penentuannya ia tersadar. “Begini rupanya, selama ini aku hanya berenang dalam akuarium, setiap harinya aku mendapat asupan makanan, tempat berlindung, ada pengawasan, bahkan perawatan. Sekarang, baru tahu rasanya.. inilah laut lepas, tak ada asupan makanan, tak ada yang bisa digantungkan dalam pengharapan. Aku harus berenang sendiri mengarungi Samudera ganas, penuh karang dan ranjau. Pilihannya, tergilas atau maju menuju pucuk tujuan, menggapai mimpi, menelan mentah-mentah kegetiran.”
***
Entah apa yang meracuni pikiran tokoh kita. Ia tetap melanjutkan perjalanan. Ia masih yakin, hari ini akan sampai ke sebuah persinggahan, tempat ia berpijak menjilati bongkahan es pengetahuan. Keyakinannya ternyata tak sia-sia, sebuah pesan singkat, handphonenya bergetar. “Gung, maaf ya.. Aku baru bisa ngembaliin uangmu hari ini. Maaf ya.. telat sehari. Baru saja aku transfer, pas 200. Cek ya gung, J
Tokoh kita tak mengeluarkan satu pun bunyi dari mulutnya. Namun, mulai terlihat senyum yang tersungging di wajahnya, kini pipinya mengembang, bibirnya pun tertarik ke kanan tiga senti dan ke kiri tiga senti, refleks dari raut senyum yang ia pancarkan. “Alhamdulillah.. Alhamdulillah... Hah... Lega...” Ia bergumam dalam hati. Seketika ia mempercepat langkahnya, mencari mesin otomatis yang bisa mengeluarkan uang dari dalam, ketika dimasukkan kartu ke dalamnya, lalu menekan tombol rahasia, bisa mengeluarkan uang, orang-orang menyebutnya ATM. Ia kembali menuju perempatan yang sudah ia lewati tadi, menuju sudut pasar, mencari ATM yang sesuai dengan kartu Banknya.
Lima puluh ribu, ia kini memegang lima puluh ribu. Ia merasa seperti orang yang baru juara  lomba lari, dan lima puluh ribu ia anggap sebagai “reward” atas keringat yang ia kucurkan. Senangnya bukan main.. ia jajakan es podeng, yang ada di seberang pasar. Ia anggap kerongkongannya perlu bonus, karena sudah mau bekerja sama dalam menahan segala ketidak gampangan keadaan yang baru saja ia lewati. Meski alasan lain adalah untuk memecahkan uang besarnya itu, agar berubah menjadi receh-receh ribuan, untuk membayar angkot yang hendak ia tumpangi.
***
Angkot merah yang ia naiki, serasa Ferrari milik Michael Schumacer, legenda Formula One. Begitu halus tarikannya. Ia bisa merasakan kencangnya angin yang menerpa wajah peluh dan badan lepeknya. Senyum tak henti ia pancarkan, sepertinya ia ingin memberi tahu kepada semua penumpang, bahwa ia baru saja memenangkan lomba lari, dan menjadi juara satunya, dan mendapat hadiah lima puluh juta. Sungguh, hiperbol yang ia ciptakan mampu menyihir segala pikiran sehatnya.
“Oke Wil, no problem, udah dicek. Maaf ya baru ada pulsa.. Terima kasih banget loh..” Tokoh kita membalas singkat pesan yang tadi diterimanya, yang memberitahunya bahwa ia menang lomba lari. Ia tersenyum lega, menapaki anak tangga, menuju lantai penyedia bongkahan es pengetahuan.
***
Keyakinan Agung, tokoh kita mampu membawanya menembus ketidak mungkinan hidup. Sungguh, ia hanya berjalan dan berjalan. Tanpa merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Terkadang, banyak orang yang masih ragu dalam mengambil langkah. Mereka sangat takut akan risiko, takut akan apa yang menghadang di depan, tanpa mencobanya terlebih dahulu. Setidaknya, Agung sudah menelan mentah-mentah kegetiran, mengambil risiko dehidrasi yang bisa menyebabkan kematian, atau apa pun itu. Mencari sosok Pangeran Antasari yang tercetak dalam lembar dua ribu rupiah, untuk menambah ongkos naik angkot, justru ia mendapat I Gusti Ngurah Rai, dalam lembar biru bercetak nominal 50.000.

Jakarta, 5 Mei 2014

Komentar

Postingan Populer