MENCERAP ILMU MELALUI PENTAS IBU



Oleh: Fathurrozak [Jek]

November 2013, adalah bulan bersejarah bagi saya, tepatnya pada Kamis, 14 November 2013 kemarin bisa menyaksikan pementasan kolosal Teater Koma yang berjudul IBU. Naskah karya Bertolt Brecht, sutradara kenamaan Jerman, yang judul aslinya adalah Mother Courage and Her Children. Ini adalah produksi ke-131 Teater Koma, yang sudah berdiri sejak 1 Maret 1977 oleh Nano Riantiarno.
Sempat tertunda
Sebelumnya, Teater Koma juga pernah menampilkan karya Bertolt Brecht lainnya, yakni The Threepenny Opera pada 1983 yang diganti judulnya menjadi Opera Ikan Asin, dan The Good Person of Shechzwan pada 1993 yang judulnya juga diganti, Tiga Dewa dan Kupu-Kupu. Adapun Opera Ikan Asin dipentaskan kembali pada 1999. Dan 2013 ini adalah giliran Mother Courage and her Children yang berganti judul IBU dipentaskan. IBU pentas sejak 1 November hingga 17 November 2013. Naskah ini sudah diterjemahkan pada Mei 1987 oleh Nano. Rencananya akan dimainkan setelah pementasan Opera Ikan Asin, namun urung dipentaskan. Pada Juli 2009, naskah ini kembali mencuat untuk dipentaskan, tetapi batal.
Pada 2010-2011-2012 adalah pementasan trilogi Siejinkwie (Siejinkwie, Siejinkwie Kena Fitnah, Siejinkwie di Negeri Sihir). Sedangkan Mei dan Juni Teater Koma menggelar pementasan Sampek Engtay, di Jakarta dan Semarang. Barulah, November 2013 terealisasikan pementasan Mother Courage and Her Children (IBU) setelah melewati berkali-kali revisi naskah oleh Nano. Sebelum pementasan IBU ini, Nano beserta isterinya, Ratna Riantiarno terbang ke Jerman untuk mengikuti Festival Teater Nasional Jerman, yang disebut 50th Berlin Theatertreffen 2013, yang berlangsung sejak 3 Mei hingga 19 Mei 2013.
Pementasan IBU
Pementasan IBU berlangsung di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki sejak 1 November dan berakhir pada 17 November 2013. Pemeran utama dari cerita ini adalah seorang Ibu yang biasa disapa Ibu Brani, yang diperankan begitu apik oleh aktris kawakan Sari Majid. Ditambah penampilan yang enak dilihat pula oleh para pemain lainnya.
Latar cerita ini adalah kehidupan dari seorang ibu beserta ketiga anaknya, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka hidup dalam sebuah gerobak yang berisi berbagai macam barang dagangan.
Ibu Brani, memiliki anak yang bernama Elip, Fejos, dan Katrin, si bungsu yang bisu. Mereka hidup di tengah konflik perang antara dua Negara, yaitu Matahari Hitam dan Matahari Putih. Di tengah peperangan, mereka berkelana, menjajakan barang dagangannya kepada siapa saja yang ingin membelinya. Ibu Brani memiliki prinsip, bahwa dia tidak mau terlibat tetapi harus memperoleh keuntungan dari peperangan yang sedang berlangsung.
Suatu hari, datanglah dua orang prajurit dari Matahari Hitam ke kantin Ibu Brani, yang sebenarnya kedatangan mereka adalah berusaha membujuk anak-anak Ibu Brani untuk direkrut menjadi prajurit tentara Matahari Hitam. Uang berbicara, akhirnya Elip, anak sulung Ibu Brani pun termakan bujuk rayu sang juru rekrut. Waktu berselang, Fejos pun direkrut masuk tentara. Tinggallah Ibu Brani hanya dengan anak bungsunya yang bisu, Katrin. Ibu Brani berjanji akan mencarikannya suami setelah datangnya perdamaian. Ia tak mau nasib Katrin seperti Ipit, wanita jalang  langganan Ibu Brani.
Kompleks
Ketika Ibu Brani sedang bernegosiasi dengan seorang koki dari resimen Matarahi Hitam, tak sengaja ia mendengar pembicaraan Jenderal dengan seorang tamunya dari dapur. Ternyata itu adalah anak Ibu Brani, Elip, yang sebentar lagi naik pangkat karena keberhasilannya. Sedangkan Fejos menjadi seorang prajurit pengirim gaji tentara. Namun nahas, ketika Fejos ketahuan membuang peti ke sungai yang berisikan uang gaji tentara, ia kepergok oleh prajurit tentara resimen Matahari Putih. Akhirnya ia ditangkap, dan diadili. Ibu Brani mencoba menebusnya, melalui bantuan Ipit, Ibu Brani masih saja melancarkan negosiasinya dalam menebus anaknya yang akan diadili hukum mati, Fejos. Karena negosiasi gagal, Fejos pun akhirnya meregang nyawanya. Ibu Brani tetap melanjutkan perjalanan dagangnya, mencari keuntungan diantara kedua belah pihak yang sedang berperang, dibantu seorang pendeta yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya, yang diam-diam menyimpan rasa kagum pada Ibu Brani. Pendeta itu bernama Kaplan, berasal dari resimen Matahari Hitam, ia menyamar sebagai pembantu di kantin Ibu Brani ketika resimen tentara Matahari Putih menyerang. Ada pula Domba si koki atau Piter si pipa yang juga mengagumi Ibu Brani.
Konflik mulai memuncak, ketika Katrin mengalami kecelakaan pada saat  perjalanan pulang sehabis belanja. Ia memiliki cacat di mukanya. Ia menjadi pemurung, tak mau menemui seorang pun. Elip, sang anak sulung pun sudah mati, namun Ibu Brani tak mengetahuinya. Ketika terdengar berita perdamaian, Kaplan si pendeta meninggalkan Ibu Brani, ia berencana khotbah kembali. Sedangkan Domba si koki justru menemui Ibu Brani. Ia mengajak ke pengianapan di kota, namun ia meminta untuk meninggalkan Katrin sendirian bersama gerobak Ibu Brani, akan tetapi Ibu Brani menolaknya. Ibu Brani justru tidak ingin berpisah dari gerobak yang sudah menemaninya berpuluh tahun lamanya. Domba si koki pun ditinggal pergi, dan barang-barangnya dikeluarkan dari dalam gerobak Ibu Brani.
Pakaian Ibu Brani semakin compang-camping, ia, Katrin bersama gerobaknya tiba di rumah seorang petani. Ketika Ibu Brani sedang pergi membeli persediaan barang dagangan, anak petani dibawa lari oleh prajurit resimen Matahari Putih. Sepasang suami isteri petani itu pun memanjatkan doa, akan tetapi Katrin justru panik, akhirnya Katrin mengambil genderang dan naik ke atap rumah beserta tangganya dibawa naik. Katrin menabuh genderang itu tanpa henti, pasangan petani itu pun panik, hingga akhirnya prajurit resimen Matahari Putih pun datang menghampiri, menyuruh Katrin diam dan turun, agar berhenti menabuh genderangnya. Namun Katrin justru semakin menjadi, lalu meluncurlah peluru ke tubuh Katrin yang ditembakkan prajurit resimen Matahari Putih. Lengkap sudah penderitaan Ibu Brani, ketika ia pulang, ia mendapati nyawa Katrin melayang. Lalu isteri petani menyarankan Ibu Brani untuk pergi dari tempatnya, ia mengatakan akan mengurus penguburan Katrin.
Belajar dari pentas Ibu
Pementasan yang berdurasi selama kurang lebih empat jam tersebut memberi saya banyak pelajaran. Setidaknya, sebagai orang awam dan baru sekali itu menjadi penikmat pementasan Teater Koma secara langsung, saya terhibur. Dari segi nonpenokohan, semuanya tertata indah, mulai dari tata lampu, properti, setting panggung, tata rias, kostum, dan musik, kita disuguhi sebuah wahana artisitik yang memanjakan mata dan imajinasi. Ditambah efek ledakan dan dentuman yang menambah suasana memang benar-benar dalam perang. Belum lagi, di luar pementasan IBU sendiri pun, Teater Koma sudah berhasil membangun atmosfer pementasan bahkan sebelum penonton memasuki Graha Bhakti Budaya, simbol ibu yang tergantung di gerobaknya, dengan ban yang selalu bergerak, menandakan akan sebuah perjuangan. Tidak hanya itu, tangga dari aula GBB menuju lantai satu pun dihiasi dengan gambar-gambar tokoh peperangan, seperti Hittler, Stalin.
Dari segi penokohan sendiri, yang paling menonjol saya rasa hanya Ibu Brani dan Katrin Hupla (anak Ibu Brani yang bisu). Ibu Brani menonjolkan wataknya yang begitu kentara, yaitu dia tidak ingin rugi, dan ingin selalu mendapat untung, dalam keadaan apa pun ia tetap menjadi Ibu Brani, bahkan dalam menebus nyawa anaknya sekalipun. Ada pun Katrin Hupla, ia pantas mendapat kredit lebih. Dia begitu kuat dalam bermain, dan konsisten. Sedangkan para tentara dari kedua belah pihak, yang melakukan adegan koor, menyuguhkan keindahan koreografi, yang dilakukan secara serempak dalam bergerak, akan tetapi sayangnya, ekspresi wajah mereka kurang kuat untuk mendukung suasana. Seperti hanya menyanyikan dan bergerak dengan bersamaan saja. Selanjutnya, mungkin hanyalah beberapa kekurangan yang bisa dimaafkan, seperti salah dialog para pemain, bahkan tokoh utama pun tak luput dari hal itu, dan di separuh akhir pementasan, saya merasa power vocal mereka menurun, tapi maklum karena mereka sudah pentas dua minggu.
Pesan cerita
Dalam peperangan, tidak ada yang menang dan kalah, apalagi untung. Semuanya kalah, semuanya mendapat kerugian. Tokoh Ibu sendiri memberikan kita sebuah simbol, bahwa siapakah sebenarnya yang mengurusi rakyat? Pemerintah atau penguasa, atau justru partai politik?  Perang itu sendiri pun dapat diartikan sebagai perang politik antar partai politik, yang begitu menyengsarakan rakyat, sehingga menjadi tak terurus, semua menjadi kepentingan para petingginya saja, sedangkan nasib rakyat? Entahlah.

Komentar

Posting Komentar

Bercuap ya..

Postingan Populer