SENGKARUT DI SELASA, MARITIM DI RABU


Seperti biasa, aku latihan teater hingga larut malam. Pagi tadi mendung, siangnya terang, malamnya baru turun hujan. Aku pulang dengan alunan rintik hujan, sembari gumpalan awan hitam menggelayut seolah ingin menerkam.
Aku diantar temanku, Rendi. Sudah malam seperti ini tak ada angkot lagi, beruntung ia baik hati. Pukul dua belas tiba di depan gang persinggahanku. Ia pamit pulang, tak lupa kuucapkan terima kasih dan mengingatkan agar hati-hati di jalan.
Rupanya, Selasa tak begitu baik padaku. Ia sepertinya memusuhiku habis-habisan. Ia menyimpan dendam yang tak bisa terbalaskan, semacam dendam kesumat, sehingga aku ditelanjanginya sampai tersisa tubuhku yang kumal ini saja.
Sedari pagi aku sudah dibuat kecele oleh dia. Aku tak bisa masuk kelas Toefl, bukan hanya karena waktunya yang terlalu pagi, tapi juga aku dibuat linglung, di mana ruang belajar mata kuliah menyesatkan itu. Biasanya di ruang 305, tetapi Selasa pagi tadi, seperti sudah kukatakan, ia memusuhiku habis-habisan, sehingga aku tak diberitahunya di mana aku harus masuk kelas. Aku disesatkan dalam lorong kebingungan, yang menggiringku menuju paving perpustakaan. Sayangnya, masih terlalu pagi, perpustakaan belum membuka diri. Kuputuskan untuk pergi ke masjid, aku tidak bermaksud untuk salat dhuha, tapi tidur, jujur aku masih mengantuk.
Pukul sepuluh sudah aku atur dalam otak, agar bisa terbangun. Aku berniat mengikuti jam ke-2 kelas Toefl. Tapi, aku juga belum tahu, kenapa tak ada yang berhamburan keluar dari ruang 305, biasanya, di jam ke-2 dosen berganti. Sayang, ini memang Selasa yang sedang memusuhiku. “Sial..” Gumamku dalam hati. Ah, sudahlah.. Persetan Toefl.
Aku menggelinjang menuju perpustakaan, aku segera menyantap koran, dua koran aku lahap. Ditambah satu buku ranah kejurnalistikan. Terlalu lama menyantap bacaan, aku tertidur, kenyang juga pikiran. Tak apa tak masuk Toefl pagi tadi, toh sudah kusuapi bacaan dalam koran. Perutku mulai mengerucut, menyampaikan nada peringatan, pertanda aku harus melahap nasi warteg.
***
Pukul 16.00. Aku menuju kantin, bersua dengan kawan-kawan. Hanya sebentar saja, mungkin sekadar minta minum, atau bahkan menghela napas. Bang Deni, sutradara teaterku, mengajak mencari lem Korea. Beberapa waktu yang lalu, topeng kayu koleksi kami di teater patah, akibat diduduki pantat Kak Ruth, bayangkan, pantatnya selebar mesin pres di percetakan. Kami sudah mengitari jalanan, menyusuri pasar, dan akhirnya baru ketemu ketika kami menghampiri toko sepuluh ribu tiga. Beli tiga unit barang yang sudah ditentukan dengan sepuluh ribu rupiah saja. Kami beli dua lem Korea, satunya lima ribu rupiah.
***
Malam, sehabis magrib, setelah membenahi topeng-topeng. Kami latihan blocking, kami dimintai tolong untuk mengisi acara di kampus. Dengan tema acara kebudayaan, kami pun berlatih dengan waktu yang minimal, tetapi tentu latihan kami maksimal. Kalau tidak maksimal, buat apa kami harus rekaman lagu segala? Buat apa juga kami harus pulang larut malam? Ah, sudahlah, toh kami melakukannya dengan hati legowo. Aku, Rendi, dan Kak Gandhys ditambah Bang Deni dan adiknya dari Jogja nanti, Dhita, akan mempersembahkan karya di acara Orange Day, sebuah acara ulang tahun Fakultas Ilmu Komunikasi. Aku termasuk di dalamnya.
***
Malam ini, mungkin lebih baik dari kemarin, saat evaluasi, penilaian dari Kak Sarah, menunjukkan perkembangan. Namun kami menyadari, masih banyak yang perlu dibenahi sebelum berdiri di panggung.
Hujan mengguyur, latihan selesai untuk malam ini. Aku dan Rendi makan nasi yang sudah dibawakan Kak Sarah, meminum kopi yang sudah dibelikan Bang Mo. Sambil terkantuk, bunda (istri Bang Deni) mendengarkan evaluasi. Semuanya pulang, aku dan Rendi belakangan. Menerobos celah air hujan, Rendi dengan motor yang diiklankan Komeng, membawaku kencang bersama angin malam.
Sayang, aku pulang sudah tak ada kehidupan, orang-orang di tempat persinggahanku, sudah terbius di kedalaman mimpi. “Bang.. Bang Wilson..” Dari balik pagar hitam yang legam bersama kegelapan, aku memanggil nama itu. Namun, berulang kali kupanggil, sepertinya tak ada respons. Kucoba minta tolong kepada kak Gandhys melalui DM (Direct Message) aplikasi dalam twitter, untuk menelepon bang Wilson. Sayang teleponnya tak diangkat. Sepertinya ia memang sudah terbang ke nirwana mimpi.
Kuputuskan untuk mencari penjual pulsa. Ah.. betapa susahnya mencari di tengah malam seperti ini. Aku berputar di jalanan sekitar kompleks. Baru kuputuskan untuk mencari indomaret. Beruntung, masih ada yang buka. Namun aku datang di saat yang kurang tepat. Pukul dua belas, ketika semua proses Online sedang berganti, atau bisa dikatakan sedang ngaco kalau menurut hemat kataku. Aku juga tahu hal ini baru saja, karena ada bapak yang membeli popok bayi dan pisang yang menjelaskan bak dosen. Sistem pembayarannya dilakukan secara manual. Akhirnya, aku pun menunggu lama. Masih untung akhirnya bisa.
Setelah kuisi pulsa, segera kutelepon Bang Wilson, berharap diangkat, ternyata cuma mimpi, bagai mimpi di siang bolong. Kucoba, berulang kali, tapi, nihil. Tak ada hasil. Ah, sudah pasah saja aku. Aku teronggok di pelataran Indomaret itu, tak lama kemudian Kak Sarah meneleponku, menanyakan kabarku, sudah masuk rumah atau belum. Aku tahu, ia dapat kabar dari Kak Gandhys.
Ya, inilah dini hariku. Rabu dini hari, setelah Selasa memusuhiku, entah apakah Rabu akan mengikuti jejak Selasa, atau lain haluan. Yang jelas, dini hari ini, aku mengasah kemaritimanku. Mampukah aku bertahan hingga esok pagi di pelataran mencekam ini? Mengapa tidak, toh aku pernah bermalam di halte transjakarta. Baru saja aku melihat anjing lewat, sedikit membuatku was-was. Tak lupa, mungkin pesan moralnya adalah : “Tak perlu mengkhawatirkan setiap kejadian. Berpikirlah secara maritim!”
Jakarta, 26 Maret 2014
@fr_jek

homoludens

Komentar

Postingan Populer