GEMURUH DUA PULUH TUJUH


Pelahan kubalik sejadah biru abu-abuku yang tipis itu. Di bawah permukaannya nampak putih, namun bercampur cokelat khas debu jalanan. Maklum. Di sini, sering kali aku menggelarnya di atas aspal.
Tulisan yang tertera di permukaan bawah pun hampir pudar, namun jika kuteliti lebih jeli, masih bisa kubaca. Rebo Sore. Pitulikur Maret Rongewu Telulas. Strenght Eighteen Memories. Begitu kiranya, jika kubaca. Rabu sore di dua puluh tujuh Maret itu, masih melekat di benak. Barangkali ada ratusan anak berseragam putih-hitam. Berderet rapi, mengular. Mereka bukan untuk mengantre beras, atau belas kasih. Ya, mereka antre untuk selembar sejadah, seperti yang sampai saat ini kupakai. Sejadah tipis itu.
Kulihat, mereka yang sudah mendapatkan, saling membandingkan. Guratan senyum, kernyit dahi, menandakan puas atau tidaknya pada apa yang mereka dapat. Sembari berbaris, seperti berjudi saja, kupikir. Bagusan punyaku. Wah iya punyamu bagus. Punyaku biasa saja nih. Begitu kiranya, perbandingan-perbandingan remeh temeh ala santri. Benar saja, kupikir. Ada yang dapat sejadah yang bermotif dan model bagus, namun ada juga yang biasa-biasa saja. Sama seperti yang kudapat, sejadah tipis itu.
Maret sudah berputar dua kali, sejak 2013 lalu. Andai, masih bisa kulihat gemuruh deret ratusan santri berseragam putih-hitam itu. Dengan segala wajah puas dan setengah puas. Ah. Sudah usai kurasa. Gemuruh itu telah lewat. Antrean yang mengular dan menghabiskan berjam-jam itu, sudah lalu. Namun, aku dan mereka yang ikut antre, serta sejadah yang didapat, masih saja. Semoga, milik mereka pun masih. Semoga pula, gemuruh dalam membanggakan sejadah mereka masing-masing, masih, mereka banggakan. Seperti aku bergemuruh saat ini, walau pada titik dua puluh tujuh itu, aku sama sekali tak bergemuruh, karena, aku mendapat sejadah yang kelas biasa, kelas proletar, sejadah tipis itu. Benar apa kata si penyair hujan Sapardi. Yang fana adalah waktu. Kita abadi. Selamat berpuasa!

Komentar

  1. Karena hanya sajadah itu saja, kamu bisa dengan tidak rela membagakannya. Karena waktu itu, sajadah pun bisa menentulan strata kita, kelas kita. Sekarang?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. sekarang kelas kita ditentukan dengan bagaimana kita menggunakan sajadah itu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Bercuap ya..

Postingan Populer