Penggalian Kembali Jiwa, Keberpihakan Pada Seni Liyan


Karya Siti Adiyati yang dipamerkan pertama kali pada 1979,
dihadirkan kembali pada Jakarta Biennale 207. 

Sebidang lahan berbentuk persegi menyambut kedatangan para pengunjung, menggenapi koleksi kebun kecil milik Gudang Sarinah, namun mencolok lantaran tanaman hijau itu berbunga emas.

Hamparan Eceng Gondok berbunga emas itu merupakan sarkas Siti Adiyati untuk kalangan atas Jakarta, yang menggemari bunga plastik impor sebagai pajangan interior. Sementara masyarakat bawah, untuk mengurusi perut sebagai upaya bertahan hidupnya saja, kelimpungan.

Karya berjudul ‘Eceng Gondok Berbunga Emas’ merupakan karya Adiyati yang pertama kali dipamerkan pada 1979 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Hadir kembali dalam perhelatan Jakarta Biennale 2017.

Identitas: Menggali Sejarah

Mengusung tema Jiwa, yang dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam unsur kesenian,jiwa yang berarti semangat, kemudian dimaknai pula sebagai identitas.
Nuansa Magenta masih mendominasi Jakarta Biennale tahun ini, 
berpadu dengan warna kuning keemasan.

Melalui gagasan inilah kemudian, untuk menghadirkan identitas, diinterpretasikan dengan cara melihat kembali sejarah. Karya milik Adiyati dapat kita lihat sebagai upaya pemanggilan memori kesenian Indonesia oleh Jakarta Biennale 2017, untuk menelusuri akar dan perjalanan kesenian Indonesia.

Kesolidan ‘Jiwa’ sebagai tema utama gelaran dua tahunan seni rupa di Jakarta ini, dipertahankan dengan menghadirkan ruang khusus bagi seniman keramik Hendrawan Riyanto. Dalam perkembangannya, Hendrawan menggunakan lempung yang liat itu mampu mendobrak batas-batas hierarki dalam seni. Sehingga lahir kebaruan lewat seni keramik, yang menjadi bagian dari seni kontemporer.
Sketsa milik Hendrawan, yang hampir sebagian memiliki
catatan nilai-nilai keilahian.

Melalui catatan arsip dan sketsa yang turut dihadirkan dalam ‘Jiwa,’ kita bisa menelusuri gagasan Hendrawan, yang sarat akan nilai ketauhidan, ilahi. Sebuah nilai yang dimiliki kaum petani dan peladang. Gagasan tersebut terwujud dalam beberapa karyanya yang kental nilai tradisional, religiositas, dan kebudayaan Jawa, seperti pada karya-karya performansnya, yang mengandung unsur simbolis seperti rajah-rajah, yang dapat kita lihat pula dalam arsip.

Adiknya, Garin Nugroho, memberikan peluang bagi pengunjung pameran Jakarta Biennale 2017 untuk mengenal sosok Hendrawan, yang wafat pada tahun 2004 di Semarang, melalui medium audio visual. Potongan-potongan memori pada sang kakak, ditampilkan Garin dalam gambar dominan monokrom. Setiap kali bersinggungan dengan lempung, diakui Garin, akan selalu menghubungkannya dengan sang kakak, yang pada gilirannya berperan dalam karya Garin seperti Opera Jawa, juga karya anaknya, yang merupakan keponakan Hendrawan, Kamila Andini, dalam filmnya The Seen and Unseen.
Asal-Usul, video berdurasi 15 menit ini menyorot sisi personal dan karya Hendrawan.

Video yang diberi judul Asal-Usul ini, memang bukanlah biografi, kita diajak untuk melihat sosok Hendrawan secara personal, serta menikmati karyanya. Seperti terwakili lewat gambar dipan di mana Hendrawan dilahirkan, dan kemudian menjadi tempat tidur rutinnya. Juga lempung, yang lekat sebagai material karyanya.

Sam, Si Rebel Sejati

Kita juga diajak untuk menelusur rekam jejak perhelatan Jakarta Biennale. Salah satunya, melalui sosok seniman Semsar Siahaan, yang juga secara ketokohannya patut diketahui generasi era kini.
Kiri: Majalah Tempo edisi Januari 1994,
mengangkat Jakarta Biennale IX dan Semsar sebagai salah satu perupanya.
Kanan: Foto Semsar digelandang aparat, wajar, kalau melihat sikapnya yang rebel dan revolusioner.

Semsar merupakan salah satu seniman yang menampilkan karyanya pada helatan Jakarta Biennale IX, pada 1993-1994. Dalam Majalah Tempo edisi Januari 1994, kita diajak membaca sejarah Semsar, juga Jakarta Biennale. Kala itu, Semsar membuat lubang besar di tengah dengan dikelilingi mural di dinding. Pada lubang galian yang menyerupai kuburan itu, terdapat patung-patung manusia dari tanah yang menjelma menjadi mayat korban.
Sam, panggilannya, si rebel pembakar patung gurunya.

Sosok Semsar, yang merupakan seniman-aktivis ini, merupakan seorang rebel sejati. Tentu, dunia seni rupa tidak akan lupa, --dan mungkin generasi kini perlu membaca ulang sejarah, agar memahami akar mereka--, dengan kelakuan lelaki berdarah Batak ini, pada tahun 1981, yang membakar patung karya gurunya, Sunaryo. Aksi vandalnya -–meminjam istilah dalam arsip Koran Kompas yang dihadirkan dalam pameran-- ini kemudian menciptakan karya baru yang diberinya judul ‘Oleh-Oleh dari Desa, II.’

Diakui Dolorosa Sinaga, pematung, yang juga kawannya,Semsar mampu mempengaruhi sikap Dolorosa dalam berkesenian. Karya-karya Semsar, kental dengan nilai-nilai humanisme, yang memihak pada kaum agraris-nelayan-buruh, kaum marjinal.

Paling tidak, upaya JIWA menghadirkan tokoh seniman yang berperan dalam perkembangan seni rupa Indonesia ini, mampu dibaca generasi kini, sebagai proses membaca sejarah dan menelusur akar seni rupa kita, agar ‘identitas’ yang kita cari tidak menjadi kabur.



Keberpihakan Pada Seni Liyan

Hal yang menarik lainnya, dalam gelaran Jakarta Biennale 2017, ditampilkan pula karya-karya milik para seniman penyandang gangguan kesehatan mental, atau biasa disebut seni liyan. Di tataran Internasional, akrab disebut Outsider Art atau Art Brut.
Pengunjung melintas di depan karya Pak Wi.
Menggunakan warna-warna mencolok, namun selalu dengan mata kosong yang sama.

Adalah Dwi Putro Mulyono, atau Pak Wi, dan Ni Tanjung. Saya mengetahui nama Ni Tanjung pertama kali saat membaca Koran Tempo di perpustakaan kampus, medio 2013. Kala itu, diperlihatkan pula foto karya Ni Tanjung, berupa batu yang digambarnya dengan berbagai macam rupa wajah. Sementara Pak Wi, saya baru mengetahuinya medio 2016-an, melalui Koran Kompas.

Seni Liyan, atau Outsider Art, sederhananya, merupakan karya seni yang dihasilkan oleh mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental, dan tidak berpatok pada estetika-estetika kesenian secara umum. Dengan proses berkeseniannya ini, mampu menjadi healing bagi mereka.

Di Indonesia, Outsider Art memang masih minor diperbincangkan. Padahal, hal ini mampu mendorong masyarakat agar tidak tabu lagi memperbincangkan isu kesehatan mental. Menurut Hana Madness, yang juga salah satu seniman dalam Outsider Art Indonesia, mengungkapkan, pemerintah justru baru merangkul dan mengakui keberadaan para seniman Outsider Art pada tahun 2017 ini, dengan menghelat pameran khusus para seniman Outsider Art, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam Jakarta Biennale 2017, Pak Wi memamerkan 21 karya lukisnya yang diberi judul ‘Another Soul’ yang dibuat pada 2014. Ia mampu melukis tanpa henti berhari-hari. Saat berproses kesenian inilah, lelaki yang didiagnosa mengidap Skizofrenia ini merasakan ketenangan, sekaligus sebagai healing baginya.
Pengunjung berpose di depan karya Ni Tanjung.
Ni Tanjung menggunakan material kertas karton, krayon, dan bungkus biskuit.

Sementara Ni Tanjung, menampilkan karyanya yang menyerupai wayang yang berjejer. Menggunakan material kertas karton, krayon, bahkan bungkus biskuit, Ni Tanjung menghadirkan karya seni yang mengingatkan kita akan nilai lokalitas yang lama dilupakan manusia lantaran kontaminasi dunia modern. Membawa kita pada hal-hal berbau lokal Indonesia, dan akar kita sebagai manusia, serta harmonisasi jiwa manusia pada alam.
Karya Ni Tanjung berjudul Dunia Leluhur, merefleksikan kita sebagai manusia
dan interaksi kita pada alam, sebagai bagian dari jiwa manusia.

Ni Tanjung, memberikan perspektif akan kehidupan interaksi manusia dan leluhur, serta alam sebagai tempat bersemayam mereka.

Andai, manusia memaknai alam sebagai bagian dari JIWA-nya, tentu letusan Gunung Agung, atau Siklon Tropik Cempaka yang lalu beralih pada Siklon Tropik Dahlia, yang baru-baru ini ramai diperbincangkan media menjelang berakhirnya JIWA Jakarta Biennale 2017, adalah bukan sebagai bencana, melainkan Sabda Alam, cara alam menyampaikan bahasa. Namun, sebab identitas kita terlampau banyak terreduksi oleh gaya hidup modern, kita lupa akan bahasa-bahasa alam, dan mungkin, sudah lupa, “kapan” --meminjam judul karya Hanafi--: Perkenalan Pertama dengan Bahasa (?).


Komentar

Postingan Populer