2015!


Foto oleh : Sergio Erbo

Seperti batu yang terus menggelinding, ia selalu menjumpai setiap masa yang sedang terlampaui. Pengujung 2015 telah tiba, sejenak mari duduk, lalu kembali melesat untuk menapaki langkah pada waktu yang tak pernah abadi.
Penyair hujan, dalam sajaknya mengatakan yang fana adalah waktu, kita abadi. Sembari menyesap apa makna yang terkandung pada larik bait-baitnya,rasanya memang waktu tak pernah abadi untuk kita, manusia. Ia adalah keusangan. Sementara kita, dalam keadaan mati sekalipun, kita tetap ada. Pada hati dan doa yang tertitipkan orang-orang terkasih kita.
Pada tahun ini, saya dipertemukan dengan saudara-saudara baru, yang hangat, selalu merekahkan senyumnya, membukakan kedua telapak tangan mereka, menebarkan benih kepercayaan, bahwa, kita tidak sendirian menghadapi kegetiran hidup ini.


Foto oleh: Ariv Fachri

Setidaknya, semangat para ibu-ibu Rembang, dan para petani Pati, menjadi sumbangsih semangat terbesar bagi saya untuk menyelami derasnya arus. Mereka adalah apa yang saya sebut, - Fighting Spirit! – semangat juang.


mediaindonesia.com

Lalu, saya bertemu pula, dengan almarhum Profesor Benny Hoed, seorang bapak yang lembut dan saya rasa, ia adalah apa yang saya sebut sebagai keikhlasan. Ia hampir tak berekspektasi, menjalankan sebagaimana ia mengalir, menggelinding. Ia pula, yang mengenalkan kepada saya, mengelola kekalahan. Orang selalu ingin menang dengan argumen mereka, usaha mereka, namun, apa yang perlu saya lakukan, cukup menerima. Jika memang demikian, sudah, terima. Menurutnya pula, musik membuat seorang menjadi lebih halus, lebih bisa memahami orang lain. Saya masih menginginkan bertemu dia, dalam kesempatan lain, ingin kembali ngobrol, perihal kehidupan, perihal bagaimana saya harus menyikapi setiap kejadian. Namun, kala itu, sehari menjelang idul adha, rupanya menjadi pertemuan, dan perbincangan intim, untuk pertama, dan terakhir kali.


www.gramedia.com

2015, saya juga belajar pada Hujan Bulan Juni yang bertransformasi dalam bentuk novel. Saya terlalu banyak belajar, pada setiap lembar-lembar karya penyair hujan itu. Kisah Sarwono dan Pinkan, begitu menuntun saya untuk tetap sabar, tetap tabah, seperti yang terjadi pada akhir hidup Sarwono, dalam cerita novel tersebut. Saya tak menyukai ketergesaan, saya coba terus meminum apa yang mengalir pada Hujan Bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya, kepada pohon berbunga itu. Dihapusnya jejak-jejak kakinya, yang ragu-ragu di jalan itu. Dibiarkannya yang tak terucapkan, diserap akar pohon bunga itu. Sekiranya, saya mencerna apa yang Sapardi maksudkan, namun karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Apa yang saya rahasiakan, apa yang saya membiarkannya ia yang tak terucapkan itu diserap akar pohon bunga, seketika meletup, membanjiri sumpah serapah pada mulut yang tak mulia. Jika saja, tak ada pelajaran ketabahan, tak ada pelajaran mengelola kekalahan, maka saya sudah kalap, oleh hal-hal yang mungkin saja ingin saya luapkan, dengan katabelece yang kapanpun siap meluncur dengan tajam, bahkan mungkin sampai detik ini.
Kemenangan, kekalahan, kerahasiaan, kehilangan, kekecewaan, hanya akan lebur oleh keihklasan, oleh ketabahan yang Sapardi ajarkan melalui Hujan Bulan Juninya, oleh rasa menerima, yang Profesor Benny tuturkan.

Komentar

Postingan Populer