Ekshalasi Popularitas Seni Rupa
Boleh Modern Asal Jangan Kebarat-baratan.
Foto: Koleksi Pribadi.
Sejak pertengahan November 2015 silam, jalan Pancoran timur II yang
biasanya lengang, menjadi ramai di tiap akhir pekannya, oleh lalu lalang motor,
pun para pengemudi ojek daring, menjemput penumpang mereka.
WSATCC dan Sentimental Moods menjadi band penghibur dalam pembukaan Jakarta Biennale 2015.
Foto: Koleksi Pribadi
17 Januari 2016 menjadi detik penutup pesta para perupa Indonesia dan
Internasional dalam hajat besar mereka, Jakarta Biennale 2015. Panggung yang
spesial diberikan bagi para insan seni rupa ini, menyuguhkan karya-karya yang
diantaranya bertema air, dan menyoal gender. Selama dua bulan lebih pameran
berjalan, masyarakat urban Ibu Kota menyemut ke Gudang Sarinah, Jakarta
Selatan.
Raos
Mengikuti perkembangan sedari pra acara pameran dua tahunan ini, bukan lain
karena saya ingin mengetahui lebih jauh tentang Jakarta Biennale 2015 dan
penyelenggaraannya. Bertepatan dengan masa magang, saya pun menjadikan pra
acara Jakarta Biennale 2015 tersebut, yang bertajuk RAOS (Roadshow Art On the Spot),
sebagai salah satu bahan liputan saya, ketika RAOS menyambangi UNJ,
bersama pembicaranya yang eksis melalui unggahan-unggahan gambar komiknya di
instagram, Komikazer.
Menurut mas Eko, selaku Koordinator
RAOS, ini dijadikan sebagai ajang promosi dan mendekatkan masyarakat kepada
Jakarta Biennale, terpenting, menghadirkan makna seni, pada publik, yang
sebenarnya, selalu bersinggungan dalam setiap aktivitas kita. Menyambangi 20
titik, promosi keliling ini terbukti
ampuh mendatangkan massa, termasuk kaum muda urban. Dari kampus, kawasan
pinggir tol di daerah Kebon Jeruk, hingga permukiman, RAOS menyelusup
mengenalkan, “Hidup itu, Seni!”
Swafoto Ala
Kaum Urban
Hidup pada era digital dan sosial media, tentu mencari sensasi serta
hiburan adalah kebutuhan utama generasi y dan z dalam pemenuhan eksistensinya.
Tak terkecuali, Jakarta Biennale 2015 yang menjadi medium pengantar perhatian.
Datang minimal berdua, adalah mungkin alasan kecil agar bisa mengabadikan momen
berlatar karya para seniman. Mungkin sedikit dari pengunjung yang duduk
bermenit-menit menyimak beberapa karya berupa audio visual. Kebanyakan,
pengunjung, yang didominasi anak muda, kebutuhan berfoto berlatar karya seniman
adalah yang utama. Meski, ada pula yang serius menyimak gambar demi gambar,
atau menonton karya video.
Mural Karya Drawmama, menjadi salah satu objek latar swafoto atau selfie para pengunjung pameran.
Foto: Koleksi Pribadi.
Namun, bagi yang memiliki tingkat ‘narsis’ tinggi, tak akan mengambil waktu
lama untuk berswafoto atau selfie
ria. Foto ramai-ramai, tentu semakin meningkatkan tingkat pede. Apalah daya saya yang selalu datang sendiri, dan terlalu ciut
untuk menghadapkan kamera ke depan muka. Haha.. Tetapi, bukan tanpa kesenangan,
menjepret beberapa karya melalui bidikan kamera lalu saya unggah ke instagram
pun, sudah cukup untuk mendapat ‘love’
dari para pengikut saya, dan memuaskan hasrat eksistensi ala kaum urban.
Pengunjung berkeliling ke berbagai sudut Gudang Sarinah.
Foto: Koleksi Pribadi.
Setidaknya, meski sekadar berfoto, mereka meningkatkan popularitas Jakarta
Biennale 2015 melalui medium sosial media, yang jika ditinjau, boleh dibilang
sebagai salah satu strategi pemasaran. Andai, seni pun dipasarkan.
Rendra,
Rembang, dan Rimbaud
Merujuk tema besar yang tersuguh, pikiran saya seketika melintas pada
penggalan akhir puisi penyair besar Indonesia, mas Willy, atau Rendra, ketika
memasuki lorong bergambar perlawanan petani Rembang terhadap pendirian pabrik
semen, dan upaya reklamasi oleh investor pada Teluk Benoa di Bali. Apalah
artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan.
Salah satu karya yang menyoal isu lingkungan.
Foto: Koleksi Pribadi.
Jakarta Biennale tentu saja tak hanya menyuguhkan keriaan kegemerlapan ala
Jakarta, penampung para rantau daerah. Sebagai panggung kesenian dalam medium
rupa, Jakarta Biennale justru memberikan ruang kepada senimannya untuk menyurakan
kegelisahan mereka terhadap ketidakadilan ekologi alam. Selain Rembang yang
terwakilkan, tentu masih ada salah satu karya utama dalam pameran ini, milik
Tisna Sanjaya, yang juga menyuarakan elemen alam. Benarlah apa kata Rendra,
Apalah arti kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan.
Poster pada salah satu karya di pameran Jakarta Biennale merespons isu lingkungan.
Foto: Koleksi Pirbadi.
Pada awal tahun di tanggal 3 silam, saya menyempatkan kembali menyambangi
Gudang Sarinah. Meski telah bertandang beberapa kali, kali ini saya ingin
benar-benar menikmati beberapa karya, secara detail, meski tidak harus semua
saya telan mentah. Setidaknya, ada yang saya simak secara intens. Selain karya Floaded Mc’ Donalds, pada hari bebas
liputan magang saya ini, saya akhirnya bisa berkenalan dengan Rimbaud. Penyair
kenamaan asal Perancis. Namanya memang besar, tetapi saya yang lahir di era
generasi y dan z, perlu mencari tahu lebih sosok dirinya. Melalui film karya
Millar ini, saya sedikit banyak mengetahui gambaran Rimbaud, pelopor surealisme
Prancis yang juga tersiar kabarnya mengenai pindah agamanya, dalam film.
Jakarta Biennale juga 'ramah' untuk anak-anak. Bahkan, terdapat program khusus anak sepanjang pameran.
Foto: Koleksi Pribadi
Akhir kata, saya ingin mengucapkan banyak berterima kasih pada Jakarta
Biennale, yang sudah memberikan saya pengalaman bersentuhan dengan karya-karya
seniman Indonesia, maupun global. Memberikan saya topik dan usulan liputan
ketika rapat redaksi, sebagai anak magang. Memberikan saya, hiburan yang
meluaskan wawasan selama November hingga Januari. Serta, dengan kekuatan para
muda mengunggah swafoto mereka yang berseliweran di lini masa instagram, mampu
meng-ekshalasi-kan popularitas perkembangan seni rupa era digital. Sampai jumpa
2017, Jakarta Biennale!
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..