Tidurlah Engkau Bersama Puisi Tak Terpanggungkan


Selamat tidur, Oom..

Kala itu, saat saya berkunjung ke rumah bernomor 28 itu, kedua bibirnya asyik mengapit sebatang rokok. Tanpa gabus.

Kedatangan saya lantaran mendengar kondisi Oom yang katanya, baru saja sakit. Bersyukur, ketika saya berkunjung Oom sudah sembuh. Bahkan ia seakan menantang kehidupan dengan menghisap racikan tembakau pabrik,  tanpa gabus filter.

Bersama anak lelaki satu-satunya, yang juga anak terakhir dari dua bersaudara, Oom menyambut saya, yang waktu itu datang dengan kawan sekosan. Dengan menahan kekhawatiran pada Boncu, anjing yang sudah saya lihat perubahan perawakannya, saya mencoba rilek ketika ngobrol dengan Oom di ruang tamu, sembari melahap sajian televisi.

Hampir satu semester, atau setengah tahun saya pernah tinggal di rumah bernomor 28 itu. Kala itu, awalnya, saya yang kenal dengan si anak dalam satu teater, diajak main dan menginap ke rumah. Bang Wilson, begitu saya biasa menyapa.  Malam itu, di depan pagar berwarna hitam, kami menunggu seorang membukakan gembok. Tidak lain adalah ibu bang Wilson. Waktu itu, kesan pertama saya, “sepertinya galak ya, seram!” Ditambah dengan stereotype etnik Batak yang ‘katanya galak.’

Beberapa kali main ke rumah bang Wilson, tantelah yang menawari saya untuk tinggal bersama mereka. Tante bilang, saya cukup bayar untuk makan saja, itu juga terserah saya. Tentu maksud tante supaya saya juga menjadi teman di rumah untuk bang Wilson. Saya, yang waktu itu sedang ada masalah di kosan lama karena ulah teman sekosan, akhirnya saya memutuskan untuk pindah ke tepian Barat Jakarta.

Selama semester dua, saya tinggal bersama keluarga Panjaitan. Sebuah suasana baru bagi saya. Serumah dengan beda etnik, dan beda agama. Meski demikian, toleransi sangatlah besar. Saya salat, baca Qur’an, dan tak pernah absen Jum’atan.

Tante, yang diwaktu awal sudah saya hakimi, ternyata dia menjadi sosok ibu, bagi saya, di perantauan. Tante mengingatkan agar tidak lupa mencuci baju, harus makan dulu sebelum berangkat kuliah, atau bahkan, sekadar untuk membuat teh.

Oom Panjaitan, dia sosok yang bagi saya, sebagai pohon. Saya bisa menyerap oksigen darinya. Ia sering mendaraskan cerita-cerita masa mudanya. Memberikan saya nasihat, dan memberikan pandangan-pandangannya tentang isu-isu yang sedang hangat dibicarakan.
Sore itu, hingga malam, menjadi hari terakhir saya ngobrol dengannya, sebelum ia kembali berjuang masuk rumah sakit. Hari itu pula, menjadi hari terakhir kami, saya, bang Wilson, Okto, dan Oom Panjaitan makan bersama, tertawa, dan mengomentari apa yang sedang menjadi ‘dagelan’ televisi.

Sewaktu saya dan Okto, teman kosan saya, berkunjung ke rumah sakit, kami tidak bisa melihat Oom Panjaitan yang berada di ruang ICU. Kami hanya ngobrol dengan tante, kak Ame, dan bang Wilson.

Awan di langit bergumpal, pagi itu saya mendengar Oom Panjaitan telah mangkat. Enam April 2016, menjadi perjuangan pamungkas Oom Panjaitan pada penyakitnya, pada hidup, menyerahkan diri pada Tuhan Maha Memaafkan. Tante, Kak Ame, Bang Wilson, dan Oom Panjaitan, terima kasih atas kebaikan keluarga kalian pada saya, langit tak akan pernah runtuh. Bumi akan selalu memberikan kearifannya pada kita, kepada siapapun yang berbaik hati kepada manusianya. Terima kasih Oom Panjaitan, tenanglah engkau bersama doa-doa yang kami tengadahkan. Tidurlah engkau bersama puisi-puisi yang tak pernah terpanggungkan.

Komentar

Postingan Populer