TEATER, MEDIA SOSIAL YANG ARTISTIK
(Sebelum mulai diskusi, saya meminta Pak Putu Wijaya untuk menandatangani salah satu buku naskah sandiwara karyanya. Ibu Niniek L. Karim di sebelah Pak Putu, minumnya kopi hitam).
Kalimat di
atas mencuat dari salah satu empu teater Indonesia, Putu Wijaya. Dalam diskusi
Tanggung Jawab Teater, Apa dan Siapa?
Bagi salah
satu pendiri Begkel Teater ini, teater merupakan cerminan realitas kehidupan. Bukan
cermin yang sekadar memantulkan wujud artifisial, namun membedah yang
terselubung di dalamnya. Gampangnya, teater bukan sekadar cerminan lahir, namun
lebih dalam lagi, bathin.
Teater
memiliki tugas untuk menunjukkan kebenaran yang sebenar-benarnya. Banyak hal
yang harus diungkap. Oleh karena itu, teater adalah anti kesesatan. Sebagai
tontonan, ia harus melihat secara utuh dan keseluruhan. Bukan saja pada awal
mula, pertengahan, maupun akhir. Sehingga, bukan saja proses ataupun hasilnya,
namun kesatuan dari semua yang bersangkutan dengan teater itu sendiri, untuk
menunjukkan kebenaran yang sebenar-benarnya. Karena, teater bukan perkara
sandiwara, namun, seperti yang dikatakan almarhum Gus Dur, yang juga mantan
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, teater bukanlah soal berbohong atau tiruan, namun
menghidupkan sukma, memberikan dan menciptakan kehadiran yang baru.
Oleh karena
itu, suatu kelompok atau komunitas teater, haruslah memiliki ideologi, dalam
upaya menjalankan tugas memberikan kebenaran yang sebenar-benarnya. Menurut
Putu lagi, ia membagi menjadi tiga idelogi yang harus dimiliki kelompok teater,
yakni, ideologi mendidik, mengritik, dan pesan moral.
Dalam karya-karya
para kelompok teater, ketiga tanggung jawab (ideologi) inilah yang harus
dimiliki, meski harus memilih salah satunya. Apakah suatu tanggung jawab
pendidikan, atau suatu kritik sosial terhadap fenomena demi menyehatkan
keadaan, ataupun pesan moral sebagai aspirasi yang harus disampaikan. Tanpa
pilihan tanggung jawab ini, suatu kelompok teater tidak akan berumur panjang.
Di sisi
lain, teater juga merupakan kebutuhan bagi masyarakat. Persoalannya, bagaimana
bisa suatu kebutuhan justru sepi peminat? Karena, suatu yang dibutuhkan
belumlah tentu menjadi sesuatu yang dimaui. Begitu pendapat aktris senior
Niniek L. Kariem. Jika teater kini semakin ditinggalkan penontonnya, padahal
itu adalah bagian dari kebutuhan mereka, maka yang harus dilakukan oleh para
pekerja seni, khusunya di bidang teater, adalah mengajarkan kebutuhan itu.
Meski, di
sisi lain pemerintah kita yang juga enggan peduli, seperti disindir Noorca.
Hingga saat ini pun, sekencang apa pun kita berteriak bahwa pemerintah tidak
peduli, mereka juga masih akan tetap hangat di ruangan berpendingin ruangan
mereka. Perlunya pembentukan Undang-Undang Kesenian yang mengatur seluruh
disiplin seni, bukan saja film yang diundang-undangkan, agar kesenian juga
dipedulikan, diaturkan tata cara pendanaan kegiatan berkesenian, sehingga kelak
menjadi hak para pekerja seni dan seniman, apabila pemerintah abai dalam hal
pendanaan ataupun sebagainya. Sehingga, para pekerja seni juga wajib mendesak
terkait hak yang seharusnya didapatkan, salah satunya dengan perumusan
peraturan.
Jika kita
mengundang tamu, boleh jadi si tamu sudah mengorbankan waktu, tenaga, atau
ongkos untuk datang bertamu, begitu perumpamaan sang ibu kepada Niniek. Maka,
layaknya tamu yang datang ke rumah, penonton yang datang ke pementasan, juga
harus dipuaskan. Lalu, bagaimana yang harus kita perbuat sekarang, Putu Wijaya
berpesan “Berhenti ngomong, dan bekerja!”
Rangkuman diskusi Tanggung
Jawab Teater, Apa dan Siapa?
Dalam rangkaian Malam
Anugerah Federasi Teater Indonesia (FTI)
2016
Di lobby Graha Bhakti Budaya
PKJ TIM
Bersama: Putu Wijaya, Niniek
L. Karim, Noorca M. Massardi.
Senin, 26/12.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..