KITA DAN KURANGNYA TANDA
Villa Nova, atau Tanjung Oost Land Huis, menjadi persinggahan ketika hendak melakukan perjalanan menuju Bogor, karena transportasi adalah lewat jalur sungai Ciliwung. |
Apa pentingnya tanda, dan perlunya
penanda?
Tanda, dalam KBBI adalah, yang
menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu. Sedangkan penanda, sesuatu yang
digunakan untuk memberi tanda.
Beberapa waktu lalu, (Minggu, 7/3),
saya mengikuti jelajah ala urban teman-teman Ngopi Jakarta (NgoJak). Edisi ini,
kami menyusuri Condet, yang juga merupakan bagian dari aliran Ciliwung.
Seperti tujuan NgoJak, yang
mengharap kita mampu membaca Jakarta dan peradabannya dari sisi yang luas. Kami
berkumpul di titik seberang Stasiun Tanjung Barat. Lalu ramai-ramai ngangkot
menuju Rindam Jaya, Jakarta Timur. Di sini, kami menjenguk reruntuhan batu
bata, yang dulunya, oleh masyarakat Betawi Condet disebut Villa Nova. Wilayah
ini, juga disebut sebagai Tanjung Oost Land Huis (Tanjung Timur). Begitu
menurut penuturan Achmad Sofyan, salah satu pengajar sejarah di suatu sekolah,
yang turut dalam rombongan NgoJak.
Dulunya, Villa Nova menjadi
persinggahan yang akan melakukan perjalanan menuju Bogor, karena jalur
transportasi yang dilalui adalah sungai, yakni Ciliwung. Kata Condet sendiri
berasal dari kata Ci-Ondet. Ci berarti Ci-liwung, dan Ondet adalah buah Ondet,
atau buah Buni, sejenis buah yang biasanya dibuat rujak, berwarna keunguan.
Setelah kebakaran, reruntuhan Villa
Nova ini makin tak terurus. Meski masih ada beberapa sisi yang masih menjulang
tinggi, namun secara bentuk sudah tidak membentuk bangunan. Kini, Villa Nova
dikelilingi oleh asrama POLRI, dan dihimpit pohon talas, dan beberapa pepohonan
lain, yang makin menelan Villa Nova dari sengkarut Metropolitan kini. Lebih
disayangkan, meski di depan komplek sudah dipasang plang yang menandakan
terdapat bangunan cagar budaya, namun plang itu juga sudah lapuk, terkikis cat
dan tulisannya, sehingga, siapa pun yang lalu lalang, mungkin tidak mau
berhenti barang sejenak untuk membaca apa yang tertera di plang tersebut, apa
lagi, masuk untuk melihat ada apa di dalamnya. Di plang tersebut juga tidak
dijelaskan bangunan apa, bagaimana sejarahnya. Yang penting, ada plang.
Villa Nova ini juga menjadi saksi
perlawanan Haji Entong Gendut dalam melawan kebijakan pajak yang diterapkan
kolonial masa itu. Benarlah, Jakarta bukan melulu Monas, atau Fatahillah saja,
tapi, Condet, yang masih ada. Condet yang dilalui Ciliwung itu. Meski, untuk
menemukan tanda itu, kita perlu menelisik, tidak seperti landmark kota ini yang
masuk daftar kunjung pariwisata.
Kurangnya tanda tidak hanya di
Villa Nova yang megah itu. Kita memang minim pada tanda yang mengalamatkan pada
sesuatu. Tanda yang mengalamatkan kita pada suatu masa.
Setelah Villa Nova, kami juga
berziarah menuju kuburan Kober, Balekambang. Di situ, terdapat makam Pangeran
Astawana, dan Ki Tua, yang diduga merupakan makam tertua, dan dikeramatkan.
Sayang, di depan komplek pekuburan, tidak pula disematkan tanda bahwa terdapat
makam bersejarah. Mereka yang biasa lewat, atau mungkin yang bermukim di
sekitar pun, mungkin tak akan menduga, kalau ada makam bersejarah yang
bersemayam di dalamnya.
Makam Pangeran Astawana yang terdapat di komplek pemakaman Kober, Balekambang. |
Sekali lagi, kita harus menelisik,
untuk menemukan tanda, membaca peradaban kita, peradaban lampau, yang
menghasilkan kini.
Kita, kurang tanda, membaca sejarah
kita. Itu hanyalah pandangan saya, setelah mengikuti jelajah urban ala Ngojak. Tentu,
seperti harapan NgoJak, yang mengharapkan tiap pesertanya mampu menelurkan
tulisan, dari apa yang didapat setelah jelajah. Selamat menelisik tanda!
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..