ZIARAH
Dalam jelajah NgoJak, dibagi dalam beberapa kelompok, saya bersama Tim Macet, bersama bang Dodo, mbak Asta, mbak Rahma, dan mbak Ruri. Untungnya juga, ada mbak Ruri, yang memang sering hunting foto di makam-makam.
Tiga kerat
roti isi kelapa, pisang-keju, dan pisang-cokelat masih rapat di tas. Padahal,
niatnya adalah untuk mengganjal perut sebelum saya menyusur pemakaman.
Sabtu pagi
itu, (5/8) dengan diantar ojek daring, saya menuju Karet Bivak, sebuah kompleks
pemakaman di Jakarta. Membayangkan kompleks pemakaman di Jakarta, tidaklah
seseram dengan yang ada di kampung-kampung.
Seperti yang
ada di kampung saya, sebuah dusun di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di dusun
saya, tempat pemakaman berbeda dengan yang saya lihat di beberapa tempat
pemakaman yang pernah saya lihat di Jakarta. Di dusun saya, juga di dusun-dusun
tetangga, tempat pemakaman rindang dengan pepohonan. Banyak pohon-pohon besar
tumbuh, dan hampir di setiap makam, selalu terdapat pohon berukuran sedang. Mungkin,
ini dimaksudkan untuk menghormati mereka yang sudah dimakamkan, dengan meneduhi
peristirahatan terakhirnya. Jadi, kesan seram tentu lebih kentara, akibat
rimbunnya pepohonan. Bayangkan kalau sudah petang.
Beda dengan
beberapa tempat pemakaman di Jakarta, yang jarang terdapat pepohonan. Mungkin,
karena untuk menanggulangi kurangnya lahan untuk pemakaman. Bahkan, sampai ada
makam yang ditumpuk, juga sempat ada usulan dari Gubernur Ali Sadikin, untuk
mereka yang meninggal, dikremasi saja.
Seperti di
TPU Karet Bivak, yang ketimbang dikelilingi pohon besar rindang meneduhkan,
gedung pencakar langit menggantikannya. Sebelumnya, saya beberapa kali datang
ke sini, di antaranya saat dekan fakultas saya, dimakamkan di sini, juga saat
bapak dari seorang teman saya dimakamkan di TPU yang dekat dengan stasiun Karet
ini.
Kali ini,
saya bersama teman-teman Ngopi Jakarta (NgoJak) diajak untuk merayakan ulang tahun
pertama mereka, dengan menziarahi mereka yang ‘punya nama’ di Karet Bivak ini.
Sebelumnya,
saya memang mendengar kalau si ‘Binatang Jalang’ dimakamkan di sini saat saya
mengikuti jelajah bareng Jakarta Good Guide, yang juga ditutup dengan
peluncuran buku biografi Chairil, yang ditulis Hasan Aspahani, malamnya,
beramai-ramai bergiliran membacakan puisi Chairil. Waktu itu, saya menyusur
jejak-jejak Chairil, di antaranya UI Salemba, dan RSCM. Tapi, bahkan saya belum
pernah menjenguk di mana ia tidur untuk nanti dibangkitkan kembali.
Pagi itu,
saya merasa bersyukur karena sudah ikut kesempatan jelajah ini, di samping
pikiran yang masih mengawang karena skripsi belum diacc sama pak dospem. Saya pun
berkesempatan mengirim doa untuk Chairil dengan membacakan salah satu puisinya.
Bukan hanya
Chairil. Banyak dari mereka, dengan meminjam tajuk jelajah Ngojak kali ini,
mereka ‘Kaum Revolusioner’ dikuburkan di sini. Saya, yang baru membaca bagian
pertama dari tetralogi Bumi Manusia, juga sempat mengunjungi makam si empunya
karya, Pramoedya.
Atau bahkan,
saya yang sering menginjakkan kaki ke Taman Ismail Marzuki (TIM), baru mengetahui
bahwa makamnya ada di sini.
Saya menutup
Sabtu di awal Agustus itu dengan menonton film Banda, yang ternyata di film itu
dibacakan juga puisi Chairil. Ada juga, nama Iwa Kusumasumantri disebutkan di
film tersebut, yang pernah diasingkan di Banda, yang juga saya temukan peristirahatannya
saat jelajah makam.
Nama-nama
besar, yang kita baca karyanya, kita kunjungi tempat yang mengenakan namanya, jalan
dengan namanya yang kita lalui, namun mungkin kita tak pernah terpikir untuk
mengunjungi, di mana mereka dimakamkan, seperti si tokoh pelukis dalam novel
Iwan Simatupang, Ziarah, yang enggan menziarahi makam istrinya.
Paling tidak,
jelajah akhir pekan itu, mengingatkan kita, atau mungkin, saya, mereka yang
telah terpendam tanah, juga patut diingat, bahkan makamnya, seperti tagline film Banda, melupakan masa lalu,
sama dengan mematikan masa depan. Paling tidak, saya yang berkesempatan ikut
jelajah dengan Ngojak, bisa mencari, di mana nisan mereka yang berarti untuk
kita, baik itu karya, filosofi, atau jasanya, yang berdampak untuk kehidupan
kita, seperti usaha Mbah Ponco, dalam film Ziarah karya BW Purba Negara, yang berusaha
mencari makam suaminya.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..