Belum Pecah Telur



Pilpres telah berlalu. Disambut dengan suka cita seluruh masyarakat Indonesia, baik dalam negeri maupun mereka yang berada di luar negeri. Meski kendala teknis maupun non teknis dijumpai, Pilpres tetap menjadi secawan madu, bagi warga negara Indonesia pendamba perubahan.
            Pesta demokrasi lima tahunan kali ini, merupakan gelaran terpanas. Dengan dua calon saja yang maju dalam pemilihan presiden, kedua poros koalisi telah mengibarkan bendera ‘siap tempur’ sejak pagi buta. Bahkan, sebelum ditiup peluit tanda mulainya masa kampanye, poros koalisi pengusung kedua calon sudah riuh melakukan gerilya. Rutinitas klise kampanye dijalankan keduanya, para calon mendatangi para ulama meminta restu, menggelar pengajian bersama santri, mengadakan konser terbuka, dan berbagai tindak-tanduk lain yang mengundang media untuk datang meliput. Tak lupa, debat kedua calon dalam pemaparan visi-misi mereka di berbagai bidang, juga dilaksanakan dengan khidmat, meski sedikit terganggu dengan ‘tim hore’ kedua kubu.
            Namun, gemuruh demokrasi 2014 sangat disesalkan karena dibarengi dengan masifnya praktek kampanye hitam dan  negatif antar kedua kubu. Saling serang dengan fitnah-fitnah keji, hasutan, dan saling menjelekkan satu sama lain. Tentu masyarakat sangat dirugikan. Masyarakat, yang harusnya menerima informasi bersih, justru disuguhi hidangan kotor produksi demokrasi era reformasi saat ini. Akhirnya, mereka berada pada persimpangan jalan, dibingungkan dengan benar-tidaknya suatu informasi yang diterima. Disesalkan karena pelaku kampanye hitam dan negatif tak ditindak tegas, sehingga terus bermunculan dan semakin menjamur, tak ada niat serius dari pihak berwenang untuk menindak pelaku agar jera. Diperparah dengan sikap partisan beberapa media televisi, dengan menyajikan berita yang tak berimbang antara kedua calon. Ditambah dengan maraknya kampanye-kampanye yang tersebar bebas di situs sosial media populer seperti facebook dan twitter. Maka, semakin ternodalah demokrasi tahun ini. Seharusnya, televisi juga sebagai media massa bisa menempatkan kepentingan rakyat di urutan pertama, bukannya justru menyenangkan pemilik media.
            Jalan berliku menuju pemilihan presiden dan wakil presiden  9 Juli sudah dilalui. Kini, kerikil tajam dan jalan curam masih dijumpai, sebabnya hasil hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei tak seragam. Akhirnya, kini rakyat pun disuguhkan dengan tontonan saling klaim kemenangan antar kedua calon presiden-wakil presiden, dan poros koalisi partai pengusung. Sangat disayangkan, televisi partisan juga semakin menebalkan keberpihakannya, dengan menayangkan hasil survei yang berbeda dengan lembaga survei kredibel.
            Rakyat jengah, melihat olok-olok demokrasi era modern. Mereka lelah menunggu suara kebenaran, bukan sekadar mainan. Kini, meski sudah digelar pemilihan presiden, belum pecah telur juga, panas antara kedua poros koalisi, akhirnya membawa suhu panas ke tengah masyarakat. Beruntung, hikmah di bulan Ramadhan menghampiri kita, meski kondisi carut-marut, tak ada pertumpahan darah akibat sensitifitas perbedaan pilihan politik. Di sisi lain, Presiden aktif pun harus mengeluarkan ‘extra power’ agar tak terbenam dengan kedua calon penggantinya yang sudah mengklaim menang satu sama lain. Sungguh aneh, terdapat tiga presiden, satu masih aktif, ditambah kedua presiden yang sama-sama mengaku menang.
            Di tengah keruwetan kondisi demokrasi saat ini, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden seharusnya, mereka menunjukkan sikap ksatria, sabar, rela, dan ikhlas menunggu, bukan sebaliknya. Tak mau kalah, ngotot, atau dalam bahasa Jawa ‘ngeyel’ seperti anak kecil saja.
            Akhirnya, kita  berharap pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar dalam proses rekapitulasi suara tak terjadi kecurangan, meminimalisasi kelalaian, dan mampu bersikap adil, sehingga hasil yang ditentukan nanti adalah benar-benar suara rakyat Indonesia, bukan suara titipan elit tertentu.
            Kepada rakyat, mari sabar menunggu, sembari berdoa, semoga negeri kita lebih tenteram, damai, berdaulat, dan berbudaya, di bawah pimpinan kepala pemerintahan periode mendatang. Teruntuk televisi partisan, pegang teguhlah kode etik, ingatlah rakyat yang sudah kalian pusingkan dengan tayangan provokatif, memihak, atau justru fitnah yang tak ada faktanya, kembalilah ke jalur yang sebenarnya, non partisan, kembali independen, netral, dan menjadi pelayan rakyat. Untuk tim sukses, simpatisan, dan para fanatik pendukung kedua calon, mari bersikap dewasa, atas hasil ‘real count’ KPU mendatang, tak perlu menyulut emosi, saatnya lepas seragam kampanye, melepas spanduk yang masih terpasang di pinggir jalan, kendurkan otot dan syaraf kalian, saatnya beristirahat. Pada muaranya, kita semua sama, menunggu 22 Juli 2014. Selamat berjuang Presiden ke-7 Indonesia!

Komentar

Postingan Populer