DESIS RIMBA RAYA MODERNITAS


Angin mendesis. Seperti ular yang hendak mencari mangsanya. Meliuk-liuk menembus celah jendela, membelai dedaunan yang manja. Membelai rambut yang tergerai milik si perempuan di seberang penantian. Menanti angkot yang sedang ngetem di ujung pengharapan. Mengharap penumpang segera sesak dan penuh, berjubel. Lalu jalan. Tibalah waktu, bagi supir meluncur, mengantar para penumpangnya menuju tempat tujuan, lalu mengisinya lagi, ngetem lagi, mengaharap penuh lagi. Makin banyaklah perempuan yang berada di seberang penantian. Kini, tak hanya yang tergerai rambutnya saja, cepol, ikal, kuncir ekor kuda, kepang, hingga botak dan berkumis pun, turut berjubel di seberang penantian.
***

Ini adalah kali pertama Tikus menarik angkot. Ia penghuni baru rimba raya modernitas kaum industri. Berasal dari peradaban yang dianggap rendah, konservatif, dan tertinggal gelombang peradaban. Ia datang bersama pamannya, Hans. Sebelumnya, ia sudah diajari terlebih dulu, bagaimana cara menyetir mobil : angkot. Meski Tikus dari peradaban yang dianggap rendah, ia cepat belajar. Tak kurang dari seminggu, ia sudah bisa menguasai panel-panel yang ada pada kemudi angkot. Hingga akhirnya Tikus layak untuk menyandang gelar ‘supir angkot trayek B17.’ Angkotnya kini sudah penuh berjejal penumpang yang bertetes keringat. Waktunya jalan. Zeeennggggggg....... wuuuuussssssss........
Rimba raya modernitas industri tak kalah akal menjajal kemampuan Tikus. Angkot sudah jalan. Waktu bagi Tikus menemui sengkarut jalanan peradaban industri.
Tiiiiiiinnnn..... “Hei, jalan dong, ah... gimana sih?” kepala dengan kumis dan kacamata hitam melongok keluar dari dalam kaca mobil.
Sebagai manusia yang berasal dari peradaban yang dianggap rendah, Tikus hanya mengatakan kata ‘maaf’. Kata yang sebelumnya tak pernah terlontar dari supir angkot manapun. Dalam peradaban industri manapun. Ia menjalankan pelan laju angkotnya.
“Baru ya?” Penumpang yang duduk di kursi depan, melontarkan tanya.
“E... Iya, Maaf ya, kalau masih kaku.”
“Waahh... bisa celaka nih aku! Kamu sanggup tidak, kemudikan angkot ini? Pantas saja, dari tadi seperti anak kecil belajaran sepeda.” Dengan ketus penumpang itu menilai cara Tikus mengemudi.
“Berhenti. Aku turun di sini sajalah!!”
Braaakkk!!!!
“Buk, ongkosnya belum...” Malangnya Tikus. Penumpang yang pertama turun itu, kini, ia tak bayar.
“Syukurlah..” Ia menengok ke belakang. Masih ada enam penumpang.
***

Macet rupanya masih mendera Tikus dalam perjalanan mengantarkan para penumpangnya. Kini ia harus mencari akal, agar para penumpangnya merasa nyaman dan yakin, bahwa ia bisa mengantarkan mereka hingga akhir rute. Tibalah ia, pada pasar. Depan pasar itu, jalan terbagi menjadi dua. Jalanan begitu ramai. Lalu lalang kendaraan, dan parahnya, ada proyek galian jalan. Proyek yang sering membuat kesal para manusia peradaban industri, karena menambah parah kemacetan. Proyek yang selalu mengusik para pengendara. Tak ada yang menyukainya. Kecuali, para kuli tentunya, dan warung makan. Mereka, kuli, bisa dapat nafkah, dari proyek yang dibenci manusia-manusia industri. Dan, warung makan, yang ada di sekitar, bisa bertambah penghasilan, dengan para kuli makan di situ. Dengan catatan, tidak tambah hutang.
Tikus berusaha tenang. Ia tak mau kejadian yang baru saja terjadi padanya, terulang kembali, dan keenam sisa penumpang, hilang semua, tanpa bayar. Ia jelas tak mau mengalami hal itu, membayangkannya begitu sukar. Sungguh, kalau hal ini terjadi, ia tak tahu.
Tikus kini berada di jalur yang terdapat proyek galian itu. Sungguh begitu membahayakan, tak ada penghalang atau penanda, bahwa ada area galian lubang.
Srraaaaaaaakkkkkk................ Tiiiiitttttt................. Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttt......
“Waduh... bang! Hati-hati dong. Kita bisa mati ini.”
“E... Maaf... Maaf...”
“Wah..  Maaf, maaf.. Kalau kita mati, memangnya, maaf bisa kasih kita nyawa lagi?!”
“E......” Para penumpang bersungut-sungut. Memaki dan memarahi Tikus. Hampir saja, angkotnya menabrak mobil yang persis di depannya, lantaran mobil tadi mengerem secara mendadak, Tikus pun mengerem secara tiba-tiba. Ia tak bisa membela dirinya lebih dari ‘maaf.’
“Aku turun di sini sajalah! Bahaya, aku masih sayang nyawa!”
“Loh... mas.. ongkosnya?” Tikus meminta ongkos, namun penumpang tadi, tetap pergi, berlalu santai, melenggang meninggalkan kesialan Tikus.
“Aku juga! Turun sini bang!”
“Aku juga!”
“Loh, kok? Pada turun di sini. Saya masih sanggup antarkan kok. Tenang. Ini hanya sedikit kesalahan tadi.”
“Kau bilang kesalahan?” Bengggg!!!
“Aduhhhh...”  Tikus mendapat pukulan yang mendarat di mata kirinya. Ia tak melawan, hanya mengaduh. Dan membiarkan lelaki bertubuh tambun tadi, pergi, dengan bayaran ongkosnya yang membekas : lebam.
***

Remuk. Tikus begitu remuk. Apa yang baru saja menjadi bayangannya, kini telah terjadi. Ia tak bisa mengatakan apa pun, selain menangis, dan teringat pada kekasihnya, Zulaiha, yang ia tinggal ke rantauan rimba raya modernitas industri. Kejam. Begitu kejam, anggap Tikus. Kini ia berhenti sejenak, menghela napas, dan melihat sekeliling ke luar dari jendela pintu angkotnya. Ia menepi. Menyepi dalam ramai lalu lalang modernitas, dan segala sengkarutnya, beserta semua rasa-rasa kemanusiaan yang sudah mati. Kejamnya ujian rimba raya modernitas, anggap Tikus. Kini, ia limbung, hendak apa dia. Hari sudah hampir siang. Sepeser pun belum ia dapat.  Sudahlah, pikirnya. Ia merasa, tak cocok, dengan atmosfer peradaban ini. Ia hanya manusia yang berasal dari peradaban rendahan. Yang hanya mengenal kata maaf, dan segala keramah-tamahannya. Segala kegotong royongannya. Segala kerendahan hatinya. Segala kemanusiawiannya. Ya, itulah, peradaban yang sudah dianggap rendahan, picisan. Beginilah seharusnya, peradaban tinggi : modernitas. Segala rimba rayanya adalah gedung menjulang tinggi. Segalanya adalah tentang transaksional, segalanya adalah diri sendiri, apatisme, segalanya adalah kepentingan, segalanya adalah keuntungan, segalanya adalah : ketidakpedulian! Lama Tikus merenungkan gejolak-gejolak yang baru ia alami dalam hidupnya. Kini, ia berniat tidur, namun..
“Bang, kok lama ngetemnya? Kapan jalannya?”
Tikus kaget. Ia tak sadar, bahwa masih ada satu penumpang dalam angkotnya. Ibu muda yang sedang hamil. Kira-kira kandungannya sudah berumur tujuh bulan. Ia masih menetap sedari tadi di dalam angkot. Ketika penumpang lain mengoceh, ia hanya diam. Pikirnya, buat apa menghakimi.
“Loh? Ibu dari tadi belum keluar?” Tanya Tikus kaget.
“Belum. Saya dari tadi menunggu, angkot ini jalan kembali.
“Apa ibu percaya dengan saya?
“Saya mau ke rumah sakit. Setelah pasar ini, ada toko buku, lalu deretan tukang tanaman, di situ ada rumah sakit. Dari sini juga sudah terlihat gedungnya bang. Jadi, buat apa saya harus berganti angkot?”
“Oh.. Baiklah kalau begitu, saya akan lebih hati-hati, dan mengantarkan ibu sampai ke rumah sakit dengan selamat.”
Tikus kembali menyalakan mesinnya. Perlahan ia menginjak gas, dan meluncurlah ia menuju rumah sakit. Setelah dua kejadian yang pahit di awal masa mencari nafkahnya itu, ia tak ingin mengulang untuk yang ketiga kalinya. Begitu berat ia rasa, untuk dirinya yang masih baru, dalam jagad rimba raya modernitas industri.
“Kiri bang.”
“Oh, sini ya bu. E... Sebentar, saya bantu untuk ibu turun.”
Tiiiiittt..... tiiiiiitt...... bunyi klakson mobil dan motor di belakang angkot Tikus tak henti-hentinya menjerit.
“Woi... minggir! Mau jalan nih. Ganggu saja angkotnya!! Woi... cepat!!
“Woi!!!!”
“Hei.. mata kalian taruh mana? Ini ada ibu hamil, mau menyeberang. Sabar!! Tunggu sebentar!” Kali ini, Tikus tak mengeluarkan kata maaf. Ia justru sedikit meninggikan suaranya, ia membentak para pengendara yang tak sabaran itu.
“Sini bu, mari. Pelan saja. Hati-hati.”
“Bang, awassss....”
Brukkkk!!!!!!! Sraaaaakkkkkk!!!!!!! Tikus tergeletak di aspal jalan. Kepalanya mengucurkan darah. Motor yang melaju kencang dan menabrak Tikus dari belakang, melaju kencang. Tak terkejar.
“Toloooooooong.......”
***

Komentar

Postingan Populer