SENGKARUT OTAK, KETENANGAN, DAN IKHLAS YANG TERTUNDA
1
Akhir-akhir
ini, rasanya, otakku dipaksa untuk bekerja lebih keras. Tak seperti biasanya. Seperti
mesin penggiling padi, menggiling, dan terus menggiling. Tak ada berhenti, dan
seolah, padi-padi itu terus berdatangan, melewati mesin penggiling-otak-ku,
menjadi bulir-bulir beras yang putih bersinar. Berbagai macam padi datang,
bertumpuk menjadi satu, menyesaki kotak-kotak pikiranku, meruwetkan lalu lintas
ingatan.
Apa
enaknya, selalu dibutuhkan? Atau, diberi kepercayaan? Atau, lagi, dibutuhkan? Ya,
dibutuhkan! Dimanfaatkan? Semacam begitulah. Tentu, sungguh membanggakan, jika selalu
dibutuhkan, itu berarti aku bermanfaat. Namun, bagaimana jadinya, jika
seolah-olah dibutuhkan, ketika pada akhirnya, ternyata aku dianggap
mengecewakan? Persetan! Kamu butuh, kalian butuh, kenapa harus aku yang
dipusingkan? Kalau tak mau kecewa, ada baiknya, tak usah membutuhkanku!
Ketika
aku teledor, dalam menjalankan apa yang sudah mereka percayakan padaku, maka,
aku dianggap mengecewakan. Maka, aku tak beroleh beralasan, hanya untuk sekadar
membela diripun, tak boleh! Masalahnya, berbagai orang membutuhkanku,
memanfaatkanku. Ketika aku pada akhirnya, tak bisa menjalankan, atau
mengecewakan, “Three si no reason!” maka cap yang mutlak bagiku adalah : ‘salah!’
aku salah!
Pada
fase selanjutnya, aku sempat memikirkan. Aku melakukan salah, akibat orang lain
melakukan salah padaku, maka, ketika aku ditunjuk sebagai ‘salah’ apakah aku
juga harus mencari dan menunjuk, orang yang bisa kuanggap sebagai ‘salah’?
Entahlah,
akhir-akhir ini, banyak yang membutuhkan, mempercayakan, memberikan tanggung
jawab, dan akhirnya : menyalahkan!
Mungkin,
segalanya itu ditujukan padaku, agar mereka yang menujukan, terhindar dari ‘salah’
dan, biar aku yang jadi tumbal.
Apa
aku tak boleh, sejenak saja, menghela napas, dan menghindari beban-beban ‘merasa
dibutuhkan-tanggungjawab-bla bla bla...’ dan setidaknya, melenyapkan segala sengkarut
yang bersarang pada otakku.
2
Ketika
sengkarut hidup semakin meruncing dan siap sedia menancap pada jantung, dan
mencekik leherku, maka, sedimen yang pantas adalah ketenangan. Kuakui,
akhir-akhir ini, semakin sukar saja untuk mendapat ketenangan, pun dalam doa.
Doa,
rutinitas yang semakin... ah, tak sanggup aku menuliskannya. Setidaknya, dengan
doa, apabila tak dapat menyelamatkanku dari gulungan sengkarut hidup, maka,
bisa menenangkan : ‘solitude’.
Perlu
kususun sedari awal, lagi, untuk menemukan ketenangan. Mungkin, mulai dari
bermalas-malasan. Atau merasa ‘tak ada beban’ atau, apa sajalah.. aku ingin
melupakan segala yang memberatkan dan membeban pada otak. Gemericik air,
seharusnya sering kubasuhkan pada muka yang sekarat ini. Melantunkan huruf-huruf
hijaiyyah yang tersusun menjadi ayat-ayat, memanjatkan doa, memuji, dan,
menengok Engkau.
Tuhan,
mohon ampun aku, lantaran, aku telah begitu picik, meninggalkanMu. menyepelekanMu.
Atau bahkan, mungkin aku sudah terlihat seperti tak berTuhan (?) aku rindu,
rindu Engkau, rindu sejuknya lingkungan yang di sekelilingnya menyembah sujud,
melontarkan puja-puji, menghadapMu.
.........
3
Mulai
dari mana, Tuhan? Lingkunganku kini, begitu sulit. Tak mudah, untuk menjumpaiMu
setiap waktu. Atau, hanya diriku yang sebenarnya mempersulit. Ah... menghela
napas, merenung, menyesal, menghampiriMu? Masih susah juga. Begitu kuat terali
yang terlilit pada tubuh sekarat ini. I know how about the concept, but, the practice
always mostly hard.”
Ikhlas,
Ya,
sepertinya, aku membutuhkannya. Sebagai jalan, atau alatku, untuk menuju :
ketenangan, merangkul Tuhan.
Bicara
ikhlas, ada yang masih mengganjal. Rasanya, aku belum mampu ikhlas, ketika aku
harus, merelakan, masa sebelum saat ini. Masa bersama seseorang, yang kuanggap
teramat spesial hadirnya, dalam fase hidupku.
Ia,
teramat sukar untuk diikhlaskan.
Mungkin,
aku masih menunda ikhlasku, untuk, sekadar tak memikirkan perempuan spesial
itu, kamu.
............
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..