AWAN MENDUNG BIROKRASI JOKOWI
Pemerintahan
baru telah berjalan. Meski, diawal mempertontonkan kegaduhan politik yang
menyita ruang publik. Bahkan, dampaknya, dirasa hingga kini. Setelah mengarungi
masa “serba tandingan” agaknya rakyat kini disuguhkan, dengan masa kebingungan.
Jokowi-JK
yang berhasil menggalang kekuatan rakyat (People
Power) dengan program Nawa Citanya, kini patut bertanya, sebenarnya, ada
apa? Mari, lihat kembali, salah satu program Nawa Cita Presiden. Salah satu
dari sembilan poin program Nawa Cita, menyebutkan : “Menolak negara lemah
dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan tepercaya.” Poin ini, jelas menunjukkan kesungguhan
pemerintahan Jokowi-JK bersungguh membenahi sengkarut birokrasi negara.
Bulan
madu usai. Kepercayaan publik di awal pemimpin dilantik, kini berbalik menjadi
kritik. Pasalnya, rakyat dikagetkan dengan beberapa keputusan sepihak Presiden.
Bisa disebutkan, antara lain, pemilihan Jaksa Agung, yang tidak melibatkan
lembaga yang dianggap kredibel dan independen, seperti KPK, dan PPATK. Selain
itu, Jokowi juga memilih Jaksa Agung dari kalangan partai pendukung, Nasdem.
Tentu, masih meninggalkan tanya pada benak rakyat, apa sebenarnya maksud dan
tujuan Jokowi? Apakah ia hanya sekadar asal saja dalam penggunaan hak
prerogratfnya? Agaknya, kita sedikit mafhum, bahwa kasus ini, bisa saja
terjadi, karena tumpangan kepentingan partai, atau titipan elite partai. Bisa
jadi.
Belum
berhenti sampai di situ, publik kembali dikejutkan pada keputusan Jokowi, dalam
pengajuan calon tunggal Kapolri, Budi Gunawan. Sebelumnya, ia disinyalir
memilki rekening gendut, dan sempat masuk ke radar KPK. Masalahnya, tak
berhenti di situ, Jokowi kembali tak melibatkan lembaga kredibel dan independen
seperti PPATK dan KPK. Sekali lagi, ini kembali menjadi keputusan sepihak
Presiden. Hak prerogatif, menjadi tameng utama. Pada waktu selanjutnya, Budi
Gunawan pun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, atas laporan ICW terhadap
rekening gendutnya, dan kini ia menjalani masa penyidikan. Meski demikian, kita
justru disuguhkan dagelan politik khas dewan rakyat. Budi yang sudah ditetapkan
sebagai tersangka, para dewan rakyat tetap ngotot untuk melakukan Fit Ana
Proper Test. Mereka berdasarkan asas praduga tak bersalah. Dan, dinyatakan
lolos! Saya pikir, kepatutan dan kelayakan Budi Gunawan yang telah
ditersangkakan KPK, secara jelas dan langsung menggugurkannya sebagai calon
ketua penegak hukum. Anehnya, Jokowi tak membatalkan pencalonan Budi Gunawan
sebagai calon Kapolri, ia hanya sebatas menunda. Justru, Jenderal Sutarman,
Kapolri aktif, diberhentikan secara hormat meski masa pensiunnya masih di
Oktober 2015, dan mengangkat Badrodin Haiti (Wakapolri) yang juga disinyalir
memiliki rekening gendut sebagai pelaksana tugas Kapolri. Publik kembali heran,
drama apa yang sedang dimainkan Presiden?
Narasi
janggal yang dipentaskan Jokowi pun semakin kentara, setelah kini, ia melantik
Wantimpres, terdapat nama Rusdi Kirana (PKB) yang lebih dikenal publik sebagai
pemilik Lion Air, dan Jan Darmadi, pengusaha Property Indonesia, lebih terkenal
sebagai bos judi, atau pemilik usaha kasino. Apa yang menjadi pertimbangan
Presiden Jokowi, memasukkan kedua nama tersebut?
Pada
intinya, narasi politik balas budi, titipan elite partai, dan kepentingan
segolongan, masih kentara terlihat pada kabinet kerja Jokowi-JK, jelas, kita
masih diliputi awan mendung birokrasi pemerintahan Jokowi, dan pada titik mana
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
tepercaya dilaksanakan?
Mantap gan infonya, 'awan sedang mendung-mendungnya'. Keep on good writing gan ^^
BalasHapusTerima kasih sudah sempatkan membaca, dan berkomentar.
BalasHapus