CATATAN SATU-DUA-TIGA DESEMBER

Jelajah nostalgia, mengudar rasa, menjahit yang telah tercabik




Menuju ufuk kenangan
            Pagi yang sayu. Ketika adikku masih terbujur lemas di atas kasur bersprei hijau. Namun, hari musti berlalu. Waktu musti melingkar. Aku pamit, untuk jalan. Aku mendoa pada Tuhan, semoga penyakitnya segera diangkat, amin.
            Kulanjutkan perjalanan, menuju timur. Di mana terletak ufuk kenangan, telah menggenang. Pucuk-pucuk menara putih kekusaman itu, ibarat kekokohan hatiku, menahan rindu dan euforia nostalgia yang menggelayut. Di atas pucuk-pucuk menara putih tadi, telah berjejal gumpalan-gumpalan awan pekat, yang berarak lambat : berat.
            Ya, kukunjungi terakhir kalinya, kalau tidak salah Mei, tahun lalu. Kini, hampir satu setengah tahun, di awal bulan penutup 2014. Mimpikah? Tidak! Aku benar-benar mengunjungi, kembali. Istana putih, penjara suci. Dan apalah, masih banyak lagi julukanmu., tentu tak sebanyak rinduku. Kuderapkan langkah, menjejakkan sepatu bauku, di atas paving yang tertata rapi terpapar sinar mentari. Napasku terengah-engah. Lantaran begitu gugup, dan masih saja kurasa mimpi. Angin mendesir melalui celah ranting-ranting pohon, menggemeresikan dedaunan, menjadi harmoni pengiring menyelami danau endapan ingatan, menyelami arus nostalgia.
Mesjid Sualman, selalu nampak tenang.
            Mesjid itu, masih sama, merenung. Sama seperti ketika aku meninggalkan tempat ini. Ia begitu bijak. Tak pernah marah. Menampung segala kekusutan para anak manusia yang berkeluh kesah. Lantaran rindu rumah, amarah, kehabisan uang, mendamba cinta, tugas sekolah, dipindahkan asramanya, diasingkan, dan kesendirian. Mesjidlah yang paling mengerti segala sengkarut anak manusia. Mesjid Sualman. Bibirku spontan menyunggingkan senyuman, ketika kumelintas di depannya. Ah, begitu tenangnya.
            Banyak perubahan rupanya. Kulihat rumah-rumah joglo yang berada di sekitar dekat mesjid, kini sudah disesaki kegiatan ekonomi : berdagang. Kantin tak lagi di bagian belakang. Entah maksud transformasi lokasi ini, namun, kukira, kantin adalah pemikat para santri, mesjid adalah hal yang dihindari. Jadi, kurasa, secara tidak langsung jika kantin diletakkan di sekitar mesjid, maka akan mudah bagi para guru menggiring santri menuju mesjid. Karena, kantin memang merupakan tempat pelarian para santri untuk menghindari mesjid. Ya, akhirnya, mereka menemukan formula menggiring santer menuju mesjid. Atau justru, semakin memudahkan santri untuk kabur dari mesjid, lalu jajan di kantin? Bisa saja ketika kegiatan berlangsung, mereka izin ke toilet, lalu dengan mengendap-endap, menyelinap dan lari terbirit-birit menuju : kantin.
            Masih sekitar mesjid. Kini, terpampang wajah para santri yang menyongsong piala  di baliho-baliho yang berjejer rapi, mengikuti letak pot bunga, dan kursi panjang sepanjang jalan depan mesjid. Selamat! Kukira, kalian pantas, mendapat apresiasi seperti ini, kuharap, kalian bukanlah generasi kacang lupa kulit. Semoga.
            Manusia pertama yang kutemui, meski secara tidak sengaja ketemu, lalu kuajak bicara, dalam wisata nostalgia ini, selain pak Karno satpam depan gerbang, adalah pak Sofyan. Sutradara sekaligus guruku dalam berteater semasa SMA. Kami langsung merasakan renyahnya obrolan sejak awal pembicaraan. Saling bertukar cerita, saling melontarkan tanya, saling menyuguhkan jawaban, dan saling mengharapkan. Ya, kami sama-sama berharap, bersama dalam satu garapan lagi. Berproses. Aku bahagia, mendengar cerita, bagaimana perkembangan teater semasa SMAku, teater yang menjadi wadah pertamaku, yang melahirkanku, menuju kecintaan yang selalu kupupuk, pada seni peran, seni hidup. Teater yang kembang kempis, tak dapat kasta istimewa, semenjana, medioker : Gerbong Kosong (GK). Kupikir, dengan adanya pak Sofyan, yang kembali Concern pada GK, yang kutahu dia sempat resign dari kerajaan putih, dan kembali lagi, akan semakin mendewasakan GK, beserta anak-anak remaja SMA itu, yang masih ingusan, sama sepertiku. Namun, kuharap, akan semakin banyak warna bermunculan dalam GK, dan kreativitas tak hanya bergantung pada satu kepala, namun dari dua, tiga, empat, lima, bahkan lima puluh kepala, mengembangkan warnanya sendiri, dalam GK.
            Pertemuan pertama usai. Selanjutnya alur telah membujur menuju ujung poros penjelajahan ini. Bertemu mas Bekti, dan pak Aziz guru ngaji. Pak Aziz masihlah dia yang ‘konyol’ seperti dulu, ustadz muda yang open mind, tidak rigid dan kolot. Serta memiliki selera humor, dan, sampai kujumpa ia kembali, waktu itu, tetap utuh, selera humornya. Bersama mas Bekti, tentu aku dapat banyak informasi, ‘informasi mahal’ karena apa yang sebelumnya belum pernah kuketahui, bersamanya kudidongengkan. Dongeng nyata realitas istana putih kami. Banyak hal-hal yang ia ceritakan, karena banyak juga pertanyaan yang mengalir dari mulutku. Mulai dari perkembangan-perkembangan teraktual, peristiwa, konflik, epik, dan sejarah yang tertutupi, atau realitas yang belum muncul ke permukaan, selama kucetak sejarah pribadiku, dan ketika kukembali, kukorek sejarah apa saja, yang sudah berlangsung, setelah kututup sejarah hidupku dalam istana. Ya, mas Bektilah, sumber utama, pintu masukku, membuka cerita dibalik permukaan, tertimbun kepentingan, dan dilupakan.
“Terima kasih, mas. Mungkin kamu merasa kesepian, makanya, sekarang kamu pelihara burung. Hahaha..” Selorohku dalam hati.
            Menuju SMA. Sebelumnya, kuhampiri puing romansa yang kini masih utuh tetap ada. Tempat kongkow para teman lelaki sekelasku zaman kelas tiga, Choco Chip. Ya, kami biasa kongkow malam setelah bimbel, sedari pukul sembilan, hingga larut pukul tiga pagi. Ditemani dengan dua bungkus besar es kopi, untuk bersama-sama, dan seplastik gorengan karet, kami mulai mengoceh. Es kopi yang dibungkus dalam plastik besar, dikarenakan kami minta airnya dilebihkan. Kami tak memprioritaskan pada pengaruh air banyak terhadap rasa kopi, tak ada manis, tawar, hambar, supaya semuanya kebagian, menyeruput kopi melalui salah satu ujung plastik yang sudah dibolongi, supaya bisa tahan sampai larut pagi. Tak lupa, mengapa kami menjulukinya gorengan karet. Gorengan yang sudah mendingin lantaran tertiup angin, menjadi santapan mulut kami, dan akan terasa alot, sealot karet ketika digigit. Biasanya kami minta dimurahkan, minta bonus.
“Ya, begitulah, amunisi kami menghadapi angin malam, tak ada kehangatan minuman, tak ada kehangatan makanan, kehangatan telah kami percikkan, melalui obrolan, candaan, dan aroma got sebelah kami yang menguarkan aroma panas endapan tinja, yang mengapung, mengalir, dan menyembul.”
            Lalu, kududuk di bangku berbentuk tabung berukuran pendek itu, melepas jaket, dan membaca buku Bung Karno-Penyambung Lidah Rakyat, sembari menikmati siang terik dan gemericik air bak penampungan yang membludak.
            Kubertemu dengan Duo Aziz. Pak Abdul Aziz BK, dan Waka. Entah, mereka kini menjabat sebagai apa, aku tak menanyakan. Bersama Pak Aziz BK, biasanya dipanggil pak Dul, aku diboncengkan dengan motornya, lalu berkeliling asrama, sembari ngobrol ringan. Dengan pak Aziz Waka pun, sempat ngobrol, di lantai bawah SMA. Aku bertemu dengan lumayan banyak guru, ada bu Endah, bu Tatik, pak Ulin (ketiga-tiganya pernah jadi wali kelasku), pak Musthofa, Pak Agung fisika, bu Fafa, dan bu Any (keduanya guru matematika), dengan mereka, aku berbicara satu persatu. Bahagia sekali, mereka masih mengingatku. Selanjutnya kubernostalgia dengan kantin, meski sudah pindah ke bagian depan, namun dulu kupunya warung langganan, langganan banyak anak juga tentunya. Meski, sebelumnya, sudah lama kudengar kabar, bahwa Pioneer warung langgananku dan banyak kawanku, telah berpulang dan menutup usia. Pak Ro, sosok sederhana, mengayomi para srikandi-srikandinya (semua pekerjanya wanita), ngemong, dan ramah itu, tak dapat kujumpai lagi, namun, setidaknya, aku masih bisa, menjumpai para pekerja wanita dan istrinya, kupesan mi rebus dan teh manis panas, minuman yang dulu jarang kuminum, paling hanya ketika kumeriang, dulu setiap hari adalah es, minum es. Sambil ngemil gorengan molen, piscok, kumenunggu pesanan dan kembali membaca buku. Tak kusangka juga, mereka pun masih mengenaliku, wajahku, namaku, nama lengkapku!
            Masih banyak sebenarnya yang ingin kuselami,  Hall atas SMA, Hall atas STIESS, Hall bawah STIESS, dan, perpus. Tentu kuingin mengunjungi perpus. Yang telah mengenalkanku pada Iwan Simatupang, Agus Noor, riwayat Rendra, Soekarno yang juga seorang penulis naskah drama, Nh. Dini, dan banyak kureguk informasi, cerita, dari perpus. Dari perpuslah, aku mengenal tokoh-tokoh itu, dari perpuslah yang membuatku kini menggandrungi Iwan Simatupang, yang memaksaku mencari lebih siapa dia, dan kukembali membaca karyanya, di perpus kampus. Sungguh, perpus telah mengawalku menuju hal yang ingin kuketahui.
“Aku juga perlu meninta maaf, karena hingga kini, beberapa majalah sastra Horison masih kubawa, dan tak kukembalikan. Beberapanya lagi, sudah kukembalikan, tadinya menginap di lemari asramaku, maaf ya, perpus..”
            Sore sebentar lagi menghampiri, aku perlu bergegas pergi, melanjutkan jelajah nostalgiaku. Kuhendak pamit pada siapa saja guru yang bisa kutemui, sebelum kumelanjutkan destinasi. Tak ada yang nampak, mereka masuk kelas semua, ya, jam dua siang adalah jam kesembilan. Beruntunglah, kubertemu dengan Pak Muthohar. Kuberbicara lagi, secara personal, seperti yang tadi-tadi. Rupanya, kini ia menggantikan pak Puryono sebagai kepala sekolah. Namun masih secara tugasnya saja ia menjalankan sebagai kepala sekolah, secara legal, ia belum diangkat. Ia menjadi caretaker. Kami bicara banyak, lumayan lama, masalah pribadi, keluarga, apa yang sedang terjadi, hingga akhirnya kami berbicara sesuatu, yang cukup sensitif. Sampai akhirnya ia kedatangan tamu, aku pun berpamitan pergi.
“Hidup itu pilihan. Kalau saya sudah memilih di sini berarti ya saya tahu resikonya. Kalau saya pergi, saya juga tahu bagaimana nanti resikonya. Semua itu pilihan kita.”

Jrakah Merekah
            Saatnya menuju rajutan romansa selanjutnya. Semarang. Tak ada memori di sana, kecuali dulu, semasa kulomba di Unnes, dan IKIP. Teman-temanku banyak yang kuliah di sana. Maka, kusempatkan singgah untuk sekadar berjumpa dan melepas penat Jakarta, mencair bersama canda tawa renyah kawan-kawan lama. Bisma, kuminta tolong menjemputku di terminal mangkang. Ia bersama Mahmud dan Chusnul, akhirnya melontarkanku menuju poros nostalgia yang lebih gila.
            Di IAIN, atau kini sudah naik kasta menjadi UIN, aku berjumpa Fathon (bapak Suntip dalam Suntip Family), Awalu, Asma (mereka pasangan), Hilman, Saepudin, dan Saat. Bersama Bisma, Mahmud, dan Chusnul, kami bersembilan, minus Saat, bercengkerama. Membicarakan hal-hal bodoh, konyol, isu-isu aktual, dan segala keanehan-keanehan. Hilman adalah teman sekamarku pra pengusiran, lalu Fathon adalah teman sekamarku pasca pengusiran. Yang perlu kugarisbawahi, aku selalu sekamar dengan orang gendut. Pasca pengusiran, aku berkamar dengan Fathon dan Candra, dan kami dijuluki Suntip Family. Begitulah kelakuan konyol kami. Selalu meledek, menghina, dan bertingkah laku gila, namun, tak ada sakit hati.
“Aku bingung nek ketemu pak cangkul, amben ketemu, dijak kumpul mesti ngomonge : “Yo, mlebu sek..” Kapan metune?” –Fathon
            Waktu berputar. Hari semakin sore, pak Suntip pamitan hendak pulang. Disusul Saep, yang harus kembali ke asrama (ia kini menjadi pengasuh, seperti mas Bekti), lalu Chusnul yang tanpa Mahmud, bersama kakaknya, tentu Mahmud harus mengantarku, menuju titik destinasi selanjutnya. Hilman pun, pamit. Pertemuan singkat ini, setidaknya telah meluluhkanku dari segala penat yang menjerat. Aku, Bisma, Mahmud, Awalu, dan Asma melanjutkan makan malam di pujasera sekitaran UIN. Setelah disodori menu, melihat apa saja menunya, memilih, mempertimbangkan, dan, akhirnya, pilihan kami jatuh untuk memesan : 4 paket satu, dan 1 paket dua. Minumnya tetap sama yang tertera pada menu paket, es teh manis, yang diganti hanya milikku, menjadi teh manis panas.
“Liane kok podo kabeh gelase, dewe thok sing gelase bedo dewe, la ngko iki rak termasuk paket. Mbayar dewe? Deloken lho..”
            Ah, begitulah seloroh-seloroh yang menggelakan tawa, menggetarkan seluruh raga, Jrakah di sore hari, merekahkan segala keramahan manusianya, terlebih, kawan yang sekaligus keluarga. Sampai jumpa, Jrakah, UIN squad.



Sekaran yang antiklimaks
            Setelah mengantar Asma pulang ke kontrakannya, kami berempat, Awalu, Bisma, Mahmud dan aku, melanjutkan perjalanan menuju Unnes, di mana terdapat banyak juga kawan kami yang kuliah di sini. Aku menghubungi Kentang (Ade Hemas), bahwa kuingin berkunjung. Menuju Unnes, yang notabene berada di lereng gunung, kami melewati jalan yang berkelok dan dikelilingi dengan hutan. Udara malam jalanan yang dingin mengiringi kami menuju Sekaran. Tak ada pantulan-pantulan lampu jalan, tak ada layar-layar tv besar berwarna-warni di pinggir jalan. Satu-satunya sumber cahaya adalah sorotan lampu motor yang kami tunggangi. Begitulah, kesederhanaan. Begitulah pinggiran. Jauh dari eksploitasi, jauh dari hedonisme-konsumerisme, yang semuanya tak bisa hidup tanpa kegemerlapan.
“Tak perlu lampu-lampu layar LED, lampu-lampu yang berjejer di sepanjang jalan, cukup cahaya bintang, menuntun kami, menuju kebersamaan.”
Sesampainya di Unnes, kami menunggu Kentang datang lumayan lama, di depan Masjid Ulul Albab, masjid utama kampus ini, kami berempat di tepi jalan memandangi lalu lalang kendaraan yang lewat, yang mengangkut wanita-wanita ayu Jawa, wanita-wanita iklim Sekaran, wanita-wanita yang berlindung di bawah menggingilnya dedaunan.
Kentang datang. Kami digiring menuju tempat kosnya. Dia penghuni kamar yang pertama di tempat kos. Karena tempat kos yang ia tempati, masih baru, dan sedang dalam tahap pembangunan. Menyusullah Miyabi, biduan angkatan kami, yang tinggal di Demak, dan kuliah juga di Unnes. Nama aslinya Lutfi Najib, namun karena ia bertransgender, ia mengubah namanya menjadi Miyabi. (Bukan begitu cerita sebenarnya).
            Najib mendapat julukan atau panggilan Miyabi lantaran ia memiliki wajah yang mirip dengan teman wanita seangkatan kami, Melati. Dan, teman-teman menyebut bahwa Melati mirip dengan Miyabi. Maka, muncullah nama Miyabi pada Najib. Aku tak tahu, Melati mengetahui hal ini atau tidak (ia dimiripkan dengan Miyabi). Kalau dimiripkan dengan Najib, ia justru open mind. Ya, begitulah, kekonyolan yang menimpa otak kami.
            Kami bermalam di kosan Kentang, kecuali Miyabi. Ia harus melayani. Para pelanggannya. Ia bersama rekannya membuka warung seafood sekitaran Unnes. Setelah tawa canda dan obrolan berteman gorengan tempe yang dibeli Kentang, (kali ini bukan gorengan karet), satu persatu berguguran, tumbang. Yang paling awal adalah Bisma. Sedari awal sampai kamar, ia langsung pasang posisi tidur. Ya, mungkin terlalu capek. Menyusul Mahmud, lalu Awalu. Tersisalah dua lelaki tanpa pasangan. Dua lelaki nihil wanita. Aku, dan Kentang. Jangan berpikiran aneh-aneh. Aku menonton film Marmut Merah Jambu, sementara Kentang, mungkin, sedang melihat-lihat foto wanita di facebook, atau, mungkin sedang mengadakan kultwit. Ya, sebelum Mahmud tidur, Kentang melihat-lihat kontak BBM Mahmud, mencari wanita yang menawan, lalu, dia cari akun facebooknya. Sebenarnya, Kentang ngekos tidak sendiri, ia bersama kawan kampusnya, namun ketika ditanya, di mana kawannya itu, katanya sedang kerjakan tugas. Kupikir tidak. Karena sampai malam larut ia belum pulang.
“La koncomu ndi tang? Kok rak bali-bali. La ngko diusir koe  kon ojo bali?”
            Keesokan paginya, setelah aku terbangun, muncullah sosok teman Kentang yang semalam dipertanyakan tak pulang, kini ia bersiap berangkat kuliah, bersama Kentang. Sisalah kami berempat. Lalu, berpisahlah kami, aku dengan Mahmud menuju Undip, Bisma dan Awalu menuju Mijen. Sampai jumpa.
“Bersama dengan udara dingin yang menguncupkan mekar, menelungkupkan yang menganga, Sekaran menjadi endapan dingin, dengan sedikit percikan kepulan asap rokok yang terisap.”

Tembalang, frekuensi keteduhan

Jalanan antara FMIPA dengan  F. Manajemen, menduhkan yang gersang.

          Pandu dan adiknya, Umam, baru saja terbangun ketika aku dan Mahmud sampai di kontrakan mereka. Bau iler yang menguar keluar, hampir saja membuatku kalap dan pingsan. Sungguh, mereka adalah public figure, artis ternama, dalam kasta kecoa. Mahmud akhirnya pergi pamit. Ia harus kuliah. Selanjutnya aku bersama para artis ini, yang baru saja bangun. Di sini juga tinggal Arsyil, Anggi, dan satu kawannya.
            Aku dan Pandu sarapan nasi pecel. Penjualnya adalah nenek yang sudah lanjut usia, meski begitu, ia masih tegas dalam pembawaan, baik bicara maupun yang dilakukannya. Aku hanya prihatin saja pada nenek ini, karena, Pandu menggodanya terus. Pandu selalu mengusiknya, lantaran cintanya ditolak nenek ini. Sungguh pun, aku menjadi saksi kepiluan cinta antara lelaki remaja yang sedang tumbuh dan bergelora dengan nenek lanjut usia yang menikmati masa tuanya. (cerita ini fiktif, namun ini bisa jadi ramalan masa depan).
            Kami berdua menuju kampus Undip. Pandu masuk kelas, aku masuk perpus. Ya. Perputakaan, FMIPA. Apa yang hendak kubaca? Tak ada buku sastra di sini, tak ada biografi, tak ada sejarah. Yang ada, tabel, angka, garis, sumbu, kalkulus, dan apapun itu yang memualkan isi perut dan memusingkan kepala. Beruntung kubawa buku Bung Karno, maka, kubuka lalu kubaca.
            Setelah sekitar satu jam lebih kubaca. Mengantuk rupanya. Kukeluar dan berkeliling sejenak. Mengelilingi para mahasiswa berkacamata. Mengelilingi para mahasiswa yang di jidatnya penuh dengan rumus, angka, dan reaksi kimia. Dari gedung C, ke gedung D, lalu ke kantin, lalu berputar lagi, lalu keluar. Kini, aku tak mengitari gedung FMIPA. Aku berjalan depan Fakultas Manajemen, lalu naik, turun lagi, Kelautan, dan, kembali lagi, ke FMIPA, keliling lagi, lalu, duduk.
            Bertemu dengan adik kelas angkatan, Nurul dan Nikha, beserta kawanku, Oza. Fathimatuzzahra. Kami ngobrol ringan dan singkat. Karena mereka segera shalat, dan Oza hendak praktikum. Kemudian kumenuju tempat dudukku lagi. Pandu dengan muka yang sangat tampan, bening, sebening kristal kaca, khawatir mencariku. Kemudian kami berkeliling dengan motor. Mengelilingi fakultas-fakultas yang ada di Undip. Oh ya, sewaktu kuberkeliling sendiri, seorang penjaga portal menanyaiku, mungkin dia curiga, dengan wajah rupawan ini.
Princess, Bajak Laut, dan Alien.

            Akhirnya, mampirlah kami ke FIB. Bertemu Saufika. Teman sekelasku sewaktu kelas tiga, dan kelas satu bersama Pandu. Kami ngobrol, bertanya jawab, saling senyum dan tertawa. Singkat saja. Kami lanjutkan bertemu dengan kawan lain. Kali ini, Yusrina. Ia menyempatkan untuk bertemu, meski sedang tidak berada di kampus. Kami sempat menunggu, dan akhirnya, bertemu. Kemudian kami ngobrol ringan, lalu menepi menuju lingkungan gedung sejarah. Meski sesama FIB, namun jurusan sejarah gedungnya berada di bawah, kata Yusrina karena Sejarah merupakan jurusan yang paling tua di FIB. Di tengah-tengah obrolan, hujan menghampiri. Kami berteduh di teras depan perpustakaan FIB. Rintik-rintik air itu begitu awet turun membasahi bumi, mengguyur  pohon, jalanan, bebatuan, burung-burung, bunga, dan hati manusia yang terbakar akibat mengalami kegersangan sunyi. Di tengah hujan yang dingin, di bawah gedung yang teduh karena pepohonan yang mengitari, kami menggosokkan kehangatan dalam obrolan. Berbicara apa saja yang ingin kami bicarakan. Saling bertukar pandang, saling berseloroh, saling menertawakan, dan akhirnya kami terbakar kehangatan yang kami gosokkan, menjadi abu yang melupakan waktu. Sore. Sedari siang kami mengoceh, hingga sore menjelang senja.
“Kehangatan obrolan yang sudah lama padam, kini kembali meletup, dalam pelukan tetes hujan, melalui waktu yang terbakar menjadi abu, menyublim : kenyamanan.”
          Harusnya kupulang Jakarta malam ini. Akhirnya, kami berpisah. Pamitan. Yusrina masih di kampus, karena ia mau rapat. Aku dan Pandu pulang, dibawah tetes yang masih membasahi segalanya yang gersang.
            Mahmud sudah menanti di kontrakan. Waktu berputar. Sore berganti senja. Senja berganti petang, lalu malam. Hujan masih awet mengirimkan keteduhannya di bawah langit Ngesrep. Dilema muncul. Teman-temanku menjadi kompor untuk tak jadi pulang sekarang, lantaran hujan. Sempat lama kuberpikir dan mempertimbangkan. Akhirnya, mengakhiri konspirasi yang telah diciptakan alam beserta kawan-kawanku, aku tak jadi pulang. Nampaknya, alam mengerti, dan sadar benar, bahwa aku, enggan pulang Jakarta. Terima kasih, hujan.

Gayamsari, lorong menuju aneksasi
            Malam pertama, bermalam di Sekaran, tempat kosan Kentang. Malam kedua, bermalam di Ngesrep, kontrakan Pandu. Malam ketiga, harus sudah pulang. Meski enggan pulang Jakarta, namun keengganan ini harus dilampaui.
            Camat datang. Seketika itu aroma penjelajahan kembali menguar, mengalahkan aroma kembali ke Jakarta.  Benar saja. Setelah kuluruhkan semua penat kasur pagi yang melumuri tubuh dengan mandi, kudiajaknya pergi. Segera kusambut dengan semangat tentunya. Ya, kuanggap sebagai cara menikmati detik-detik terakhirku dalam wisata nostalgia ini. Segera kupamitan pada kakak beradik Pandu-Umam, Arsyil, dan Anggi. See You..
            Wuuuuusssss...... dengan motor tanpa plat nomor, Camat membawaku menuju tangga terakhir penjelajahan. Ia mengajakku untuk bertemu Kintan, karena sedang membutuhkan pasien untuk praktikumnya. Beruntung sekali, pikirku, gigiku memang bermasalah, dan kini ada pengobatan gratis. Samapailah Camat dan aku pada tempat praktikum Kintan, kulihat anak-anak berseragam SD memamerkan gigi mereka yang bolong dan disumpal kapas. Aku sebenarnya sedikit malu, karena kondisi gigiku tak bagus. Sayang, setelah menunggu dan tadi sempat dilihat gigiku, ternyata tak jadi naik ke kursi panjang pasien. Waktu habis. Begitulah. Dosen pembimbingnya ingin melanjutkan praktikum di lain waktu. Sayang sekali. Sebenarnya aku rugi. Karena aku sudah memperlihatkan gigiku pada Kintan dan temannya namun tak jadi diperbaiki. Ah, sudahlah.
            Hal konyol setelah kejadian ini adalah ketika kami berdua melanjutkan perjalanan. Dikarenakan Kintan tadi mengatakan Jumat akan ada lagi, ditengah perjalanan aku mempertimbangkan untuk masih di Semarang hingga Jumat, karena pikirku mumpung ada kesempatan cek dan periksa gigi. Akhirnya aku dan Camat memutuskan untuk membeli tiket kereta. Hal ini juga disebabkan Camat mengomporiku untuk pulang Jumat saja. Namun setelah masuk Indomart kami keluar lagi. Karena menunggu kepastian lagi dari Kintan. Akhirnya, kami kembali lagi ke kampusnya.
“Komunikasi terbaik itu face to face. Kalau pakai media seperti ini, kadang ada noisenya.” –Camat
            Begitulah seloroh Camat. Sebagai mahasiswa Komunikasi, ia mengungkapkan bagaimana komunikasi yang efektif. Sesampainya di sana, Kintan sudah tak ada, kami bertemu dengan temannya, ternyata kepastiannya adalah Senin depan. Ya, akhirnya kupulang saja nanti sore! Perjalanan berlanjut menuju gerbang wisata nostalgia selanjutnya. Menuju Gayamsari, kompleks kampus USM dan kontrakan kawan-kawan juga. Inilah lorong aneksasi kepercayaanku di detik terakhir tangga wisata.
            Bertemulah aku dengan Dadang, Copra, Habibi, Giant (Jayen), Faiq, dan Agus Salim. Di sini, konspirasi kembali diciptakan, oleh alam, dan kawan-kawan. Langit yang terlihat mendung, seolah menandakan, bahwa aku akan bermalam sekali lagi di Semarang. Setelah siangnya aku makan bersama Camat dan Dadang, makan nangka di kontrakan yang, bentuknya, ah sudahlah, namun tetap kumakan, dan setelah Camat beristirahat tidur dengan Faiq, aku dan Camat melanjutkan perjalanan menuju Terboyo, mencari tiket bus. Camat lupa cuci muka. Kami berkeliling terminal, namun akhirnya tak jadi beli, karena mahal, dan lebih baik aku memilih pulang Jakarta dengan kereta saja. Akhirnya, sesore aku berkeliling dengan Camat, bahkan sesiang dengannya juga. Kami pergi ke Tawang. Mengantri, dan dapat. Meski harus mengantri satu jam setengah. Pulanglah kami, menembus gerimis menuju kontrakan.
Bukan hanya suara yang sayup-sayup, begitupun foto kami (Dadang, Aku, Salim, sepotong Camat).

            Sore itu telah berkumpul anak-anak di kontrakan USM. Sembari menunggu waktu magrib tiba, kami menikmati dengan canda tawa yang renyah, ditemani kopi pahit yang menggemit lidah. Akhirnya, kami putuskan untuk menambahkan susu putih, meski, encer. Sembari menonton timnas u-16 bertanding yang ditayangkan tv. Akupun sibuk menghabiskan nangka yang hampir busuk itu. Tak apa, sepertinya perutku sudah kebal dengan bermacam bakteri. Eh, tapi, tak tahu aku kalau Ebola. Ya, hitung-hitung, sudah lama tak menyantap buah kuning manis ini.
            Magrib telah berlalu. Tibalah bagi kami, menjalankan agenda, menjenguk bapaknya Ilham, teman kami, yang dirawat di RS Kariadi. Berangkatlah, kami : aku, Camat, Dadang, Fuad, Faiq, Copra, Giant, Habibi, Jarjit, dan Ekodok, Salim tak ikut. Ia pulang, harus mengerjakan laporan. Sesaat hampir tiba di rumah sakit, insiden menimpa Jarjit dan Adang. Ketika hendak putar balik, motor dari arah belakang melaju dengan kencang lalu menyerempet motor yang ditunggangi Jarjit dan Dadang. Dadang berhasil lompat dari motor sebelum terjatuh, sementara Jarjit, ya, tak apa, jangan khawatirkan dia, nyawanya sembilan. Akhirnya, mereka bertukar posisi, Dadang yang mengemudikan, sementara Jarjit membonceng. Setiba di dalam, kini kesialan menjelang detik-detik pulang, terjadi, ya, itu juga karena ketedoranku, yang berjalan sembari menunduk menatap layar handphone. Sepatuku mengenai genangan air, dan basah. Hampir saja, aku dan Dadang masuk ke kamar jenazah, karena salah membaca denah yang ada di persimpangan gang rumah sakit.
            Bertemulah kami, dengan Muslikan, dan akhirnya dengan Ilham dan keluarganya yang sedang menunggui bapaknya. Kami ngobrol. Sesaat kemudian, bapak Ilham dipindahkan menuju ruang jantung, ya, dia mengidap penyakit jantung dan paru. Saat kupulang dengan Camat, aku belum sempat pamitan, karena kuharus menuju stasiun, dan Camat masuk kuliah terlebih dahulu. Namun, aku mendoa, semoga, bapak Ilham segera disehatkan, dan diangkat penyakitnya. Amin.
            Tibalah kami, aku dan Camat, di kampusnya. Ia sudah terlambat. Namun ia tetap masuk dan aku menunggu di lobby. Camat berpesan, kalaupun sebelum jam sembilan belum keluar, ia akan minta izin.  Ya, terjadilah. Pukul sembilan kurang seperempat. Ia keluar. Padahal tadi ia sudah telat masuknya, kini ia justru izin keluar. Aku jadi merasa membebani..
            Maka, berangkatlah kami, menuju stasiun. Sepertinya Tuhan ingin menambahkan kesan dramatik, dengan meneteskan rintik-rintik hujan, yang membasahi kami berdua. Ah, Tuhan, kami ini bukan sepasang kekasih. Ya, teruslah kami terjang hujan yang semakin deras. Tak ubahnya, Camat seperti pejuang cintaku, dan kekasih sehariku. Sesiang hingga semalaman kami masih berdua. Namun, aku tak ingin tumbuh cinta. Hahaha... aku masih butuh wanita. Ya, sampailah kami di stasiun. Aku pamit dengan Camat, meninggalkan dirinya dengan sebotol teh pucuk dan sebungkus Beng-beng, bersama air yang membasahi bajunya. Sampai jumpa, Camat, sampai jumpa Semarang, See You..


Sampai jumpa, Semarang.


            Ya...bersama dengan kereta yang melaju, kuakhiri jelajah nostalgia ini. Menyambangi puing-puing kenangan SMA, menjahit rasa persaudaraan dengan jarum kehangatan bersama kawan-kawan SMA, menemukan suasana dan obrolan yang meneduhkan. Setidaknya, gelombang yang baru saja berlalu, ikut melarungkan bebanku. Jelajah ini, mampu menjadi penawar kegersangan rindu yang melanda, memompa api kehangatan, padaku yang lama mendera keterasingan. Begitulah, tak ada perencanaan berlebihan, aku lebih condong pada spontanitas, aku hanya berniat mengunjungi, dan menghampiri kawan-kawanku, kawan seperjuanganku dulu, berjuang melawan matematika, cinta, dan masa SMA.
            Kini, kumenghadapi rutinitasku dalam rimba raya Jakarta. Lagi. Selain Power bank temanku yang kubawa sewaktu pulang kemarin masih tertinggal di Dadang, rasaku pun juga, masih mengendap, pada sedimen ingatan yang enggan dilupakan.

Rasanya, selalu ada yang tak akan pernah bisa kembali, bahkan oleh pertemuan. Mungkin karena itulah, kita memerlukan kesedihan. (Agus Noor).

Komentar

Postingan Populer