SEKATUP BIBIR TUAN PUTRI YANG DIPEREBUTKAN
Alkisah
pada sebuah tempat orang saling menanam pohon kasih sayang. Menantikan masa
panen raya buah cintanya yang mereka semai dari benih-benih kasih, dengan pupuk
harapan. Semua rakyat beroleh memiliki, dan menikmati pohon kasih sayang, boleh
menanam benihnya, dan boleh menebar di sekitarnya dengan pupuk harapan. Namun,
hanya para bangsawanlah yang boleh makan buahnya, cinta.
Para
jelata tak mendapat tempat barang sedetik merasakan nikmat buah cinta. Meski,
kaum jelata dan kaum bangsawan sama-sama menanamnya. Tak hanya kaum jelata yang
menanam. Semua menanam, semua terlihat sama, adil, sampai pada buah yang
dihasilkan. Jelata kalah telak.
Pada
akhirnya, jelata terus berusaha keras, agar bisa seperti kaum raja. Mereka
memutuskan untuk memperbanyak dalam pemberian pupuk ke pohon kasih sayang
mereka. Semula, pupuk yang diberikan hanya satu sendok sehari, kini, karena
mereka bertekad kuat mensejajarkan hasil tanaman mereka dengan raja, mereka
dalam sehari memberi sepuluh sendok pupuk harapan. Mereka giat dan sepagi
melakukan pemberian pupuk harapan yang terkesan berlebihan ini. Sampai-sampai,
mereka lupa makan, bahkan, ketika berangkat ke ladang persemaian benih pohon
kasih sayang, mereka lupa membawa minuman. Mereka hanya berkonsentrasi pada
pupuk harapan, yang mampu menyelamatkan buah hasil panennya, buah cinta. Hujan
mereka terjang, panas mereka abaikan. Berbulan-bulan hingga tumbuh lumut di
pipi mereka, rambut-rambut mereka pun telah menjadi sarang burung jalak, karena
sapi tak diliriknya lagi. Jalak menilai, bahwa di rambut para jelatalah mereka
akan lebih untung, lebih kenyang, ketimbang mereka harus berada pada badan
sapi. Kandungan kutu yang terdapat di rambut para jelata kini menjadi suplemen
masa peralihan para jalak. Maka, pulanglah para jelata, setelah sekian lama
memupuki pohon kasih sayang mereka, dengan pupuk harapan.
***
“Tidak!!!!!”
suara nyaring berteriak terdengar dari ujung ladang persemaian. Membangunkan
para jelata lain yang masih nyenyak tertidur menunggu hasil panen mereka.
Seorang
jelata lari sekencang angin menuju pemukimannya, seraya ingin mengabarkan pada
kawan-kawannya yang mabuk pupuk harapan.
“Kita salah!!”
Ia sekonyong-konyong menghakimi kaum jelata, termasuk dirinya, di pagi buta
ketika semua burung pun masih enggan untuk bangun.
“Apanya yang salah?”
Seorang jelata berkumis baplang menyahut.
“Kita semua salah!!!
Salah strategi. Kita akan gagal panen lagi, kali ini. Bahkan, barang secuil pun
kita tak akan bisa mendapatkan apa yang selama ini kita nantikan.”
“Hei... Sialan kau!!
Beraninya berucap lancang. Jangan patahkan semangat kaum kita sendiri!”
Kepalan tangan mendarat di pipi kiri si jelata yang baru saja menggemparkan
pagi para jelata.
“Sudah.. sudah.. jangan
main kasar. Walau kita kaum bawah, tapi kita punya etika. Mari, kita bicarakan
baik. Malu juga, pagi buta seperti ini sudah ribut. Malu dengan burung-burung
yang masih istirahat di sarangnya.” Si jelata
berkumis baplang menengahi ribut-ribut yang mendidihkan air di pagi menjelang
kicau burung terdengar.
“Silakan setelah aku
menjelaskan, kalian bisa melihat sendiri ke ladang kita. Apa yang ada di sana.
Kalian akan tercengang.”
“Lalu, apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Rahasia keberhasilan
para raja bukanlah pada pupuk yang kita agungkan itu. Buktinya, kita sudah beri
pupuk harapan sebanyak-banyaknya pada tanaman, tapi, justru pohon-pohon kasih
sayang tak tumbuh subur. Kita salah.”
“Atau mungkin saja,
karena memang kita memberi pupuk harapan terlalu banyak. Bisa dikatakan, over
dosis. Lihat saja, kita terlalu giat memberinya, sampai-sampai, kita tak sadar,
bahwa pipi kita sudah berlumut, dan di atas kepala kita sudah dihinggapi
jalak.” Seorang jelata berkulit gelap itu
memotong, dan memberikan analisis tajamnya. Semua terhenyak.
“Kita memang perlu,
memberi pupuk harapan pada tanaman kita, tetapi, kurasa tak sebanyak yang sudah
kita berikan akhir-akhir ini. Dari waktu itu pun aku sudah ragu dengan
keputusan untuk memberi pupuk harapan seserampangan begitu.”
“Ah... Masa bodoh. Kita
musnahkan saja, pupuk harapan itu. Aku sudah muak, aku sudah kenyang dengan
menunggu. Siapa yang mau ikut denganku?!” Ajakan
provokatif dari seorang jelata berambut gondrong itu membakar emosi para jelata
lain. Mereka pun bergegas membereskan, apa yang dinamakan dengan pupuk harapan.
Mereka tak percaya lagi.
***
Para
jelata memang sudah banyak yang memusnahkan pupuk harapan. Namun, sebagian juga
masih ada yang menyimpannya secara diam-diam. Meski kini muncul golongan kontra
pupuk harapan. Pupuk yang digegerkan itu boleh saja sudah banyak dimusnahkan,
dan langka dari peredaran kaum jelata. Tetap saja, mereka tak bisa mengalihkan
isu utama mereka, sebuah andai-andai, yang selalu hinggap di hari-hari mereka.
Mereka tak bisa hidup dengan pengandaian. Bahkan, usaha besar-besaran yang
mereka lakukan selama ini, tak lain dan tak bukan, hanya untuk melanggengkan
pengandaian mereka, untuk bersanding dengan tuan putri yang diidamkan semua
orang, dengan buah cinta, yang mereka petik dari pohon kasih sayang.
Sekatup
bibir tuan putri pastilah menjadi idaman bagi para jelata, bahkan raja.
Ditambah dengan fantasi foto-foto yang beredar di banyak lini masa kehidupan
mereka. Jelas menambah imajinasi dan fantasi. Jelata dan raja berandai-andai,
pada satu narasi utama “Andai aku adalah yang berhasil membuka
bibirmu dengan bibirku, lalu kususuri rongga mulutmu dengan lidah keringku.”
Hingga
kemudian, bintang jatuh menimpa rumah salah seorang dari jelata. Dialah yang
akhirnya menyentuh merah muda mungil merekah bibir tuan putri yang mengatup.
Prosesi sakral itu berlangsung khidmat dan kilat. Pada esok dan selanjutnya,
kembali normal. Ia tetap jelata dan tuan putri bersama raja-raja yang saling
singgah. Tanpa sosialisasi, tanpa sombongkan diri, si jelata tak merasa
congkak.
Jelata
lain masih tetap berandai, dan saling melempar taruhan satu sama lain, seperti,
“Jika engkau sanggup, akan kuserahkan
jempol tangan dan kakiku untukmu.” Tak ada yang menanggapi serius, hanya
tawa yang penuh harap. Namun, pada akhirnya, si jelata yang berkulit gelap,
yang pernah memberikan analisis tajamnya pada sebuah perkumpulan pagi setelah
geger pupuk harapan, mengakui, “Aku
pernah.” Meski, lirih dalam hati.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..