BAHAN POKOK KE SEPULUH


Lazimnya, kita mengenal istilah sembako (sembilan bahan pokok) merujuk pada kebutuhan pokok mendasar bagi masyarakat. Bahkan hal ini diatur melalui keputusan Menteri Industri dan Perdagangan pada 1998 bernomor 115. Namun, sembako mengalami pemekaran, bertambah satu : batu akik.
Ia begitu dielu-elukan, diperbincangkan di setiap pertemuan, dicari secara gotong royong, bahkan diwacanakan menjadi suvenir perayaan Asian Games 2018. Melambungnya harga beras tempo lalu, dan ikut naiknya harga-harga sembako lain seperti minyak, efek dari penaikan BBM barangkali tak begitu meresahkan bagi sebagian warga. Bahkan, kelangkaan tabung gas 3 kg pun tak mendapat tempat mayor dalam ruang-ruang publik. Kini, minyak goreng, telur, dan gas ELPIJI kalah pamor.
Meroketnya batu akik sebagai tren telah merambah ke segala kelas sosial masyarakat. Dari tukang ojek, satpam, pelajar sekolah, mahasiswa, hingga pejabat dan pengacara bahkan tokoh agama. Pernah, saya berada di selamatan tujuh hari saudara, setelah acara selesai, masih ada beberapa orang bergumul yang ternyata sedang membicarakan dan saling unjuk batu akiknya. Keadaan tak jauh beda ketika saya di kampus. Beberapa teman juga kini mulai memasukkan tema batu akik sebagai pokok pembahasan. Bahkan, ada seorang teman yang mampu mempengaruhi teman lain untuk ikut memakai batu akik, meski awalnya tak begitu berminat.

Pada tataran grassroot, batu akik diperbincangkan dalam suasana riuh rendah. Bayangkan saja, seorang pelayan kantin di kampus saya, yang gajinya dibawah UMR Jakarta, mengoleksi lebih dari tiga batu akik yang kesemuanya melingkar di jari-jarinya. Seolah, batu akik menjadi penanda kelas sosial seseorang. Dengan turut memiliki dan memakai dalam jumlah banyak, maka ia pun akan naik kelas sosialnya.

Boleh saja jika batu akik menjadi hobi bagi masyarakat. Namun sebaiknya tak menjadi obsesif kompulsif, di mana dan kapan saja selalu memperbincangkan panca warna, lumut suliki, maupun jenis batu lain yang lebih tenar ketimbang nama Menkominfo era kabinet kerja. Masyarakat harusnya sadar bahwa batu akik sebenarnya hanyalah sebatas aksesori, dan mereka perlu sadar diri prioritas kebutuhan pokok mereka, yang paling dasar, makan. Barangkali anekdot hidup untuk makan atau makan untuk hidup sudah tak berlaku lagi, bisa saja kini berlaku demikian “hidup untuk batu akik atau batu akik untuk hidup.”

Komentar

Postingan Populer