DUA TAHUN JAKARTA
Palak,
Sepi, dan Bla Bla Bla
Jakarta is Beauty in the Ugly (Sumber foto; Okto)
Tak terasa,
mengarungi belantara ibukota genap berusia dua tahun. Paling tidak, sedari 26
Mei 2013 hingga 26 Mei 2015, Jakarta senantiasa menyuguhkan kompleksitasnya.
Bukan perkara mudah, asal kau kuat dan perkasa saja, maka sepi hatimu akan
mengapal di sanubari.
Di dua tahun
ini, aku kembali teringat. Ketika langit Jakarta menyambutku dengan guyuran
hujan, dan genangan air terminal Tanjung Priok yang sudah dipastikan membasahi
sepatuku. Dengan menenteng kardus mie instan di kedua tanganku, halte Jembatan
Merah, masih membekas di memori kepala. Sekiranya, begitulah, sambutan meriah
nan merintih ibukota untukku yang baru saja selang sehari mengambil hasil
kelulusan.
Semua serba
mendadak. Bergegas. Singkat. Aku pun masih ingat, betapa singkatnya ngobrol
dengan perempuan spesial itu, kala ambil pengumuman kelulusan SMA. Kupikir, tak
lebih dari lima menit. Ah, cepatnya waktu berlalu. Dari lima menit hingga
berujung ke detik ini, dua tahun! Sepertinya, baru kemarin aku kena palak di
Metro Mini, ketika awal puasa, atau saat pagi kemarin, hendak berangkat kuliah,
dicegat preman Pasar Senen, yang hampir saja berhasil menggasak ponselku.
Ha-ha-ha... itu mungkin sekadar riak-riak kecil yang mengisi sepi hatiku,
ketika menapaki aspal belantara Jakarta.
Bukan dia pemalaknya. Dia bukan preman Pasar Senen (Sumber foto: pribadi)
Ibukota juga
sudah mempersilakanku untuk bermalam di halte Trans Jakarta, selepas Superman
Is Dead manggung di Parkir Timur Senayan yang selesai dengan berakhirnya jam
kerja Trans Jakarta. Atau, ibukota memang memiliki niat berbaik hati padaku,
sehingga aku dipaksa untuk sehat. Tak perlu aku harus mengikuti Jakarta
Marathon 5K, 10K, dan seterusnya, dan seterusnya. Karena, aku sudah pernah
menerapkannya. Tunggal. Tak berramai-ramai. Hening nan khidmat. Selagi uang
habis, atau ketika kiriman dari ibu terkasih terlambat, kumantapkan berangkat
kuliah dengan Marathon 5K. Jarak yang kutempuh, dari Taman Semanan, Cengkareng,
sampai Pasar Puri, Jakarta Barat. Itu sudah cukup membuat wajahku hitam
kemerah-merahan, dengan peluh bertetesan, dan baju yang kuyup kecut.
Beruntunglah, sms ibu terkasih memberitahukan, ‘biaya bulanan’ sudah
ditransfer. Maka dengan gegap gempita, mata belangsatan, sembari koprol, aku
mencari mesin ajaib yang dinamakan ATM. Segera, kubeli es podeng, sebagai hadiah
untuk tenggorokanku yang sudah mau bersabar. Perjalanan kulanjutkan dengan naik
angkot B14. Duh, nikmatnya..
Aku pernah tidur di halte TransJakarta, seperti bapak itu. (Sumber foto: Okto)
***
Lika-liku
Jakarta, menawarkan dengan megahnya kenangan-kenangan masa lalu terpampang.
Kuakui, di awal-awal bernapas di Jakarta, terasa sesak dengan berjubelnya
kenangan yang mencekik leher. Kerlap-kerlip lampu, riuh rendah klakson
mobil-mobil, kepulan asap knalpot, seraya tak bisa mengajakku berdansa. Aku
merasa tidaklah berada dalam lingkaran kegemerlapan itu. Aku anggap saja, layar
videotron di mal, di jalanan, hanyalah ilusi cahaya. Ia lebih suka kuwarnai
dengan kesuraman akan perasaan seorang lelaki cemen yang tak bisa menendang
bola ke mana arahnya, yang tak bisa menjaga perasaan perempuan, yang tak bisa
mempertahankan sebuah status hubungan. Begitu suramnya aku, sesuram bunga Rafflesia Arnoldi yang tak tahan lama
setelah mekarnya. Begitupun aku, dan seseorang, yang baru saja mekar lalu layu
oleh keadaan-keadaan realitas, yang mungkin saja selama ini kubangun dengan
daya absurditas.
Aku yang sendu bersama sorot lampu jalan (Sumber foto; Okto)
Aku mudah
murung, mudah tidak puas, mudah tidak bahagia, dan mudah melankolik,
melodramatik. Ya, bukan tanpa alasan. Aku kalap. Hampir selama satu setengah
tahun, aku tak bisa lepas dari jerat-jerat tentakel kenangan yang menjulurkan
racun kemanisannya. Aku terlalu mudah untuk terpengaruh menulis larik-larik
kalimat yang berbau nada minor. Hampir, satu setengah tahun, aku dipenuhi
dengan nada-nada minor. Sesekali nada mayor kupetik, namun, sesekali.
Merah Meriah Strenght Eighteen! (Sumber foto: Anonim)
Hal yang
menambah kesunyianku, adalah perasaan. Perasaan merasa berjuang sendiri, tidak
ada teman, dan rindu akan ramainya kegotong royongan kawan-kawan SMA. Sungguh
merah meriah kurasa, jika bersama mereka. Aku selalu merindukan masa-masa
bersama. Aku merasa sendiri, jauh, terpinggirkan, dan terabaikan. Sedangkan
sebagian dari mereka, ada yang bersama, berramai-ramai, tertawa, saling
berboncengan, dan saling berbagi satu suap nasi. Oh, kalian sungguh
menyebalkan! “Tak tahukah, aku merasa sepi?” Begitu kiranya, pertanyaan yang
selalu kulontarkan, namun tak pernah kuucapkan.
Namun,
kompleksitas Jakarta, tak bisa membiarkanku berlama-lama dalam berdilema. Aku
harus melangkah, membangun fondasi yang lebih kuat, membuka lebih lebar
jendela, menjebol pintu, dan lebih ikhlas. Akhirnya, aku bisa menyimpulkan, aku
mampu menguasai kesepian yang selama ini menelanku hidup-hidup, membuatku
kalut, kalap, dan terlelap. Saatnya, kuucapkan, “hai...” dan kupendarkan senyum
di wajah yang pernah kalap oleh sepi ini.
***
Jakarta, sekali
lagi. Dengan segala kecantikannya yang tecermin dari keburukannya,
mengajarkanku akan segala hal dalam kehidupan. Mungkin, Jakarta hanyalah
sepotong kecil, serpihan, bahkan, bukan apa-apa, dalam kehidupan. Namun, ia
saat ini menjadi bagian dari hidupku, sebelum masuk ke fase kehidupan
selanjutnya. Jadi, harus kusedot tanpa henti, pelajaran hidup yang ia berikan.
Ia sudah mengajarkanku akan kesendirian, kebingungan,
kebengisan, kebrengsekan, kelucuan, kekonyolan, dan pertemanan, serta jalinan
keluarga. Jika ada yang bilang, Jakarta tak bersahabat, memang. Iya kurasa.
Tapi, engkau harus merasakan sendiri di sini, engkau akan menemukan apa arti
dari kemanusiaan. Banyak orang-orang yang baik padaku, yang memang ia dikirim
Tuhan untuk menolong sesama, mengasihi, dan sekadar untuk aku yang hanya bisa
membalas dengan ucapan “terima kasih” saja. Ada Pak Lik, dan Bu Lik, di
Ciledug, yang senantiasa membantuku, membuka pintu lebar untukku, dan mereka
adalah cermin dari apa yang disebut dengan persaudaraan. Namun, aku yang
terlalu jahat. Tak memiliki banyak waktu untuk mereka, sekadar menyisihkan
sehari saja dalam seminggu untuk berkunjung, aku belum sanggup untuk itu.
Paling, beberapa bulan sekali. Ya, bengisnya aku.
Tebak dia siapa? Agung Jericho? Bukan! (Sumber foto: Anonim)
Ada
juga, bang Van Helen, nama aslinya Agung Fajarrianto, seorang yang menurutku
berhati lapang. Ia senantiasa, selalu, baik padaku. Entah, aku juga merasa, dia
adalah sosok seorang kakak, yang begitu mengasihi adiknya. Selama ini, aku
selalu menjadi kakak, untuk adik-adikku. Maka, aku harus belajar dari dia apa
arti mengasihi. Ia tak hanya berbaik hati padaku, pada teman-temanku, para
seniorku di kampus, yang juga juniornya, ia tak pernah segan memberi bantuan.
“Hai, bang. Kenapa kamu dipanggil Van Helen?” Ya, dia seorang gitaris. Terkenal
dengan nama Van Helen ketika di kampus, ia unjuk gigi di atas panggung melalui
lagu band rock Van Hallen. Ia kini juga menjadi seorang DJ, sutradara, dan
pembuat kue cubit dan serabi.
Bang Wilson lagi makan sesajen. Mata boleh tuh. (Sumber foto: Okto)
Di Jakarta, aku
juga belajar memahami arti perbedaan, menjalani hidup rukun, bersama dalam
perbedaan. Keluarga Panjaitan. Ya, bang Wilson, beserta bapak, ibu, dan kakak
perempuannya. Aku begitu diterima hangat oleh mereka. Tinggal selama lima
bulan, aku begitu merasa diterima sebagai keluarga oleh mereka. Kesan awal pada
mama bang Wilson, yang kala itu kupikir galak, aku salah besar. Salah! Ia tak
jauh dengan ibuku, yang mengasihi dan selalu memberi nasihat padaku, seperti
anaknya sendiri. Bahkan, ketika aku sakit, ia mengantarkanku untuk berobat.
Sungguh beruntung, aku berkesempatan hidup bersama mereka. Aku memang jahat,
aku belum kembali mengunjungi mereka. Tetapi, aku sudah berjanji, akan kembali,
mengunjungi mereka, sembari ngobrol santai.
***
Jakarta,
Jakarta, Jakarta. Engkau memang kompleks. Satu sisi, menaburkan paku-paku
tajam, satu sisi, kau meninabobokan manusia, dengan kasih sayang para
manusianya yang terhalang oleh gedung-gedung menjulang tinggi. Aku pernah juga,
ditipu temanku sendiri. Teman sedari SD-ku, teman ketika aku dan dia masih
bermain Power Rangers dalam khayalan anak Sekolah Dasar, masih berbalut seragam
merah putih, masih ada harga jajan 25 perak, hingga kini sudah memegang uang
ratusan ribu. Ya, bisa dibilang aku dikecewakan. Sampai saat ini, kami putus
komunikasi. Itu kualami di Jakarta. Sudahlah. Itu sudah usai. Toh, kini, aku sudah
berkawan dengan mereka yang mampu menenteramkan hati. Teman SMA, teman Fikom,
teman Sanggul, dan teman satu kosan: Gorila kebun. Aku selalu memujinya, setiap
hari, tak pernah henti. Namun dalam arti konotasi. Okto, pemuda dari ujung
Timur Indonesia.
Perkenalkan, namaku Gorila Kebun. Hai..
Hura-hura ceria...
Dengan segala
kearifannya, aku belajar banyak darinya. Kini, aku tak sendiri harus berjalan
berkilo-kilo meter menyusuri aspal ketika habis ongkos atau ketika tak ada
kendaraan umum, ketika sehabis mengunjungi sebuah acara. Atau kita memang lebih
memilih berjalan ketimbang harus naik taksi, dengan pertimbangan, uang bisa
ditunaikan untuk makan di warteg berkali-kali. Aku juga tak sendirian, dalam
menahan lapar yang melilit perut. Kini, kami menempati kandang kesengsaraan
penuh peluh namun tempat di mana kami mengendapkan segala: pakaian, lelah,
ragu, dan pertemanan.
Menanti butiran kristal putih manis.
Jakarta, terima
kasih atas segala bla bla blamu, dan atas segala keindahan dalam keburukanmu.
Aku tak akan pernah berhenti mencari gula-gula kehidupan, untuk kutaburkan
dalam secangkir kopi pahit kehidupan. Selagi belum kutemukan, maka aku akan menyesapnya
secara perlahan.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..