Menumpu Tepok Bulu

Di tengah keterpurukan berbagai cabang olahraga nasional, Indonesia patut berlega hati. Masih ada bulu tangkis, yang selalu melahirkan generasi baru.
Indonesia pernah berjaya melalui bulu tangkis. Legenda dunia lahir melalui pukulan-pukulan raket atlet nasional. Meski, kini kekuatan bulu tangkis dunia sudah merata, Indonesia belumlah kehilangan tajinya.
Piala Thomas maupun Uber, boleh jadi sudah terlalu lama tidak lagi dikoleksi. Terakhir, Indonesia hanya mampu menjadi finalis bagi Thomas, dan perempat final bagi tim Uber. Boleh jadi, ini adalah alarm keras bagi PBSI. Gelar bergengsi tersebut sudah lama tidak menjadi milik Indonesia.
Namun, ada catatan menarik selama gelaran Thomas dan Uber 2016 silam. Tradisi yang selama ini dipelihara PBSI untuk menurunkan para pemain tua, alih-alih, Thomas dan Uber menjadi ajang pembuktian diri para tunas muda. Sebut saja, Anthoni Ginting, Jonathan Christie, Angga/Riki. Mereka mampu berbicara lebih, ketika dipercaya untuk turun di turnamen kelas dunia.
Tinggal berbicara waktu. Para pemain muda bulu tangkis nasional mampu berbicara banyak. Tinggal bagaimana pembinaaan di klub, dan pelatnas. Baik dari penangangan cedera, dan pengadaan fasilitas. Dua hal ini yang masih menjadi keluputan semua pemangku kepentingan, yang akhirnya berdampak pada prestasi pemain.
Generasi muda sebentar lagi akan menggantikan para seniornya, Tontowi Ahmad dan seangkatan. Mental pemain muda juga harus diasah, dengan tampil rutin digelaran sekelas super series. Tak hanya itu, fokus pemain jnuga menjadi penting, mengingat banyak kritik para senior terkait kebiasaan atlet di era digital, yang sering tidak fokus hanya karena gawai.

Tepok bulu menjadi satu-satunya cabor yang secara konsisten selalu melahirkan generasi baru, di tengah keterpurukan olahraga nasional. Jika tidak ingin mengekor terkuburnya sejarah emas seperti cabor lain, maka pembinaan atlet benar-benar harus dimulai sejak dini, justru bukan sejak sang atlet sudah bisa menghasilkan piala.

Komentar

Postingan Populer