BENARKAH KITA SUDAH MERDEKA?
69
Tahun bangsa ini telah merayakan hari terlepasnya dari kolonial barat dan
Jepang. Seremonial upacara bendera senantiasa dilaksanakan, sebagai “simbol”
penghormatan pada sejarah, sekaligus sebagai “perayaan” lahirnya suatu bangsa :
Indonesia.
Para
Jenderal sudah tak perlu bergulat (lagi) menyusun taktik, para Kiai sudah tak
repot memimpin komando para santrinya untuk melawan bala tentara penjajah.
Kini, kita diwariskan sebuah pekerjaan rumah oleh para “Founding Fathers”. Ada
ucapan dari sang proklamator “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah,
tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Demikian
memang yang terjadi dewasa ini.
Bukankah
merdeka adalah hak setiap warga? Hak setiap individu? Merdeka berarti terlepas
dari belenggu. Yang terjadi adalah, kita saling menindas, saling membelenggukan
satu sama lain, saling serang, saling sikut, hingga akhirnya “pertumpahan darah”
sesama tanah pun terjadi. Paham kapitalis begitu mengakar pada pikiran dan jiwa
kita, sehingga rasanya “perlu” menaklukkan saingan agar menjadi pemenang. Asal
untung, lupa sudah, pejamkan mata dan akhirnya tak pedulikan sesama.
Dulu,
para pelaku sejarah dijajah asing, dibatasi ruang gerak, dirampas hak-haknya,
di”miskin”kan, dan diperlakukan secara tak manusiawi. Sekarang? Sama saja.
Nyatanya orang miskin yang hendak berobat dibiarkan saja oleh para petugas
kesehatan, oleh rumah sakit milik negara, hingga akhirnya bertambah sekarat. Di
mata hukum, ya.. hukum memang buta, namun di negeri ini, ia bisa melihat Bung
Karno dan Bung Hatta dalam amplop cokelat. Secara fisik, kita memang sudah
merdeka, namun silakan berkaca kembali pada diri : “Benarkah aku sudah
merdeka?”
Dalam tulisan saya sebelumnya (Lawan Terus! Runtuhkan Belenggu Penjara), sudah
dibicarakan mengenai pembelengguan atau pemenjaraan jiwa. Jiwa yang merdeka
adalah jiwa yang tak terbelenggu, oleh : otak dan tubuh. Maksudnya, tak hanya
berkutat pada pemikiran maupun keadaan, lebih daripada itu, jiwa yang merdeka
(bebas) adalah jiwa yang mampu keluar dari pakem-pakem umum, berani berjalan
tak mengikuti arus, namun atas kehendak jiwa itu sendiri. Realitanya, kita
begitu takut untuk berbeda, dan akhirnya kita hanya bisa mengikuti arus, hingga
tak sadar kita sudah terseret jauh, dan susah untuk kembali. Itulah yang
dimaksud dengan jiwa yang terbelenggu, jiwa yang tak merdeka (bebas). Kita
mendaya ciptakan penjajahan-penjajahan sendiri dalam pribadi.
Bukan
hanya penjajahan diri yang “dicipta” oleh pribadi, namun para penjajah di luar
diri kita pun ada. Ya, kita selalu ditipu para penguasa, peraturan seakan sudah
tak berguna lagi, keputusan hanya menambah sengsara. Itulah,
penjajahan-penjajahan “maya” yang memang ada, memang tak terlihat kasa mata,
namun hati tak bisa untuk terus diam ditindas, ia akan menjerit, atau karena
sudah begitu tersiksanya, hati merintih, menangis.
Kini,
saatnya mulut terbuka, dan suarakan keberanian melawan penjajahan “maya” untuk
: JIWA MERDEKA!!!
secara tertulis memang indonesia sudah merdeka, tetapi kita masih dijajah secara material dan moral anak bangsa, terkadang kita menganggap remeh produk" ciptaan anak bangsa yang seharusnya dijunjung tinggi, terkadang orang lebih bangga menggunakan produk luar negri, pemuda-pemuda di racuni dengan media sosial, yang seharusnya mereka bisa saling komunikasi secara langsung dengan adanya mensos, lebih sering "ah, bbm ajah, whatsapp ajah, twitter ajah" dan lain sebagainya, krisis moral dimana-mana semangat jiwa nasionalisme yang makin lemah, jiwa kepedulian yang nyaris mati, tetapi terkadang orang tidak menyadari akan hal tersebut, itulah kehebatan bangsa laen menjajah penduduk indonesia, bukan serangan fisik lagi melainkan dengan meracuni karakter anak bangsa, kita seharusnya sebagai genesari muda meluruskan dan membenarkan hal tsb, supaya bangsa ini merdeka yg sesungguhnya bukan merdeka yang terjajah.
BalasHapusYaps, betul sekali dan. Kita seakan takut tergerus oleh zaman, seakan kita larut dalam gaya hidup, yang membuat kita digempur oleh mode, gadget, dan gaya hidup. Agaknya, perlu dilakukan kontemplasi, banyak-banyak kontemplasi, dan kontemplasi dengan benr serta sungguh-sungguh.
BalasHapus