MEMOAR LEMBUT ABU-PEKAT BARA
Badanku
meringkuk dalam dingin udara sore. Mencoba membuat percikan hangat, agar tak
mati kutu dalam beku. Seketika itu, aku teringat, detik-detik menjelang
keberangkatanku sekarang. Memang, suasana tak kondusif merasuk menjelang waktu
kepergianku. Aku ingat betul, beberapa hari sebelumnya, aku terlibat cekcok
dengan ibuku. Ya.. kali ini aku berani meninggikan suaraku, seolah menandai
bahwa aku sedang marah. Ya, benar, marah, aku merasa tersinggung, mungkin
puncak dari rasa tersinggungku. Kudengar suara dan bahasa ibu yang meninggi,
serta seperti lontaran dialog yang ditujukan padaku, namun tak secara langsung
ia menyampaikan. Masalahnya sepele, bisa dibilang, itu hanya sebagai pemantik
awal percikan emosi antara aku dengan ibu. Harga tiket kereta api. Begitulah,
jalan yang kami tempuh untuk diributkan. Mulanya, ibu menyuruhku untuk mencari
tiket keberangkatan kereta api, barangkali masih ada, padahal aku sudah tak
apa, sudah legowo untuk tak naik
kereta. Namun, karena kehendak ibuku, aku pun mencarinya. Dapat.
Namun,
begitu sesampainya di rumah, ekspresi tak mengenakkan yang ada di raut wajah
ibu. Ia seakan mengutuk tindakanku ini. Ya, wajar saja jika ia respons dengan
raut wajah dan bahasa tubuh serta bahasa lisan seperti itu, maklum saja,
keuangan keluarga kami sedang tak baik, aku justru menghamburkan banyak rupiah
untuk perjalananku dengan kereta. 240 ribu rupiah, begitulah nominalnya.
Ditambah jadwal keberangkatanku yang melampaui batas masuk kuliah.
Dari
situlah, percikan serta luapan-luapan emosi merembet ke segala arah, dari aku
yang menyalahkan ibu karena sebelumnya mendesakku mencari tiket kereta, namun
ketika sudah kudapat justru respons yang tak mengenakkan. Hingga aku sampaikan
perasaan-perasaan tersinggungku ketika ibu secara tak langsung nyeletuk bahwa percuma sekolah
tinggi-tinggi, kuliah, toh nantinya tak bisa bantu kerja, toh nantinya hanya
jadi petugas bank penagih uang nasabah. Dan hal-hal lainnya yang memang membuat
telingaku panas. Ketika ibu berucap seperti itu, hanya aku diamkan. Berusaha
menahan diri. Namun, memang kala itu adalah waktu yang pas untuk aku
melontarkan segala uneg-uneg. Bapaklah yang menjadi penengah api panas kami,
aku dengan ibu.
***
Dua
Minggu telah berlalu, aku kembali pada rutinitas menjemuhkan kaum urban.
Bertopeng pada kemunafikan, mengumpatkan rapat-rapat ke’apa-adaan’. Entah, aku
begitu limbung sekarang, mau bagaimana nanti? Beruntung, masih ada sisa uang
penyambung hidup. Malangnya aku, atau mungkin aku harus berucap syukur, ketika
aku kini juga dihadapkan musibah lain. Yang jelas, musibah ini sangat amat
perlu mengeluarkan biaya, uang.
Namun,
aku memang harus sepatutnya bersyukur. Di kala bekal penyambung hidupku
menipis, aku ditawari kerja sehari oleh kawanku, ya.. lumayan, bisa untuk
menutup lebutuhan hingga akhir bulan, setidaknya seminggu ke depan, atau
mungkin bisa juga kusisipkan untuk ‘musibahku’ tadi.
Ya..
yang jelas, aku tak ingin begitu berlarut-larut tenggelam dalam bara api dengan
ibuku. Aku ingin segera selesai, aku lelah. Aku kecewa, aku menangis, aku ingin
memeluknya. Aku begitu menyesal telah berbuat konyol tanpa berpikir panjang
ketika itu. Baru saja, sore ini, ibu kembali mengungkit bongkahan-bongkahan
bara dua Minggu lalu, melalui pesan singkat yang ia kirim. Ternyata, begitu
naifnya aku, justru semakin memperbesar nyala bara itu kembali, yang hampir
padam. Ibu, kapan kita akan berakhir, dalam asap, dalam hitam pekat bara yang
membakar tubuh, dalam lembut abu, menjadi suatu perkumpulan kehangatan :
tungku.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..