BERKAH DI AKHIR AGUSTUS
Agustus.
Bulan sakral bagi masyarakat Indonesia. Ya, karena di bulan inilah– dulu – Founding
Fathers memproklamirkan ‘merdeka’.
Bagiku,
ini bulan penuh gejolak. Tim sepak bola desaku, memulai turnamen divisi duanya.
Jelas, ada ‘gengsi’ dipertontonkan dalam turnamen itu. Aku sendiri, harus telat
masuk kuliah, lantaran yah.. ‘something untold’ selain karena aku ingin masih
berromansa dengan keluarga, teman, dan sebenarnya ‘someone special’ namun
sayang, aku belum diizinkan Tuhan untuk dipertemukan. Aku hanya bisa
bernostalgia dengan sebagian temanku saja, teman SMA. Harapku sebenarnya banyak
untuk bisa bereuforia dalam nostalgia dengan kawan SMAku, ya.. setidaknya
kawan-kawan Tersono, dan ajakan Adib berkeliling ke beberapa rumah kawan lain,
mampu menambal rindu bau napas kawan seperjuangan, setelah tujuh bulan aku tak
pulang, dan setahunan lebih tak dikumpulkan dalam forum besar, atau suatu
perkumpulan. Sebenarnya aku berpeluang jumpa mereka, di awal 2014. Ketika aku
berlibur di Jogja, dan kawan-kawanku sedang touring di sana. Hem.. sayang, kala
itu aku belum berpikiran maritim. Duh..
Gejolak
lainnya, sebelum pulang ibu kosku menyuruh untuk cari tempat lain pasca
lebaran, alasannya karena mau ditempati saudaranya. Seenaknya saja, pikirku.
Beruntung lah, saudaranya tak jadi. Aku bisa kembali menempati kos tiga ratus
ribu rupiahku kembali. What? 300 ribu? Ya.. bisa dibayangkan lah.. bentuknya
seperti apa. Tiga ratus ribu bisa dapat tempat tinggal di Jakarta. “I’m not
kidding You!” berbanding lurus dengan harga, begitulah deskripsi singkat tempat
kosku. Hupp!! *Menahan napas*
Syukur
saja aku masih bisa tempati kos 300 ribu. Karena gejolak kembali datang. Waktu
itu, ya.. sore hari. Tepatnya azan magrib Selasa, 12 Agustus 2014 berkumandang.
“Braaakkk!!!” Aku jatuh dari motor, dan mobil menubrukku. Fatalnya, itu, motor,
milik temanku. Ya.. aku jadi sulit membedakan retak atau hancur. Bagian sayap
depan motor menjadi dampak insiden itu. “Jadi, retak, apa ancur nih?” Hem..
musibah, tak bisa dihindari. Maaf ya cek.. sepertinya baru bisa ganti bulan
depan. “Lu-nya sih, woles, cuma, jadi nggak enak aja, yang diomelin lu, bukan
gue.”
Hem..
waktu berlalu, malam dan siang bergantian beriringan. Awan berarak, serigala
yang bernama Galang melonglong.. “Auuuu..” kini dia sudah tidak main sinetron,
beralih profesi jadi pengisi suara program Mr. Tukul. Eh, cukup deh
intermezzonya.
Tak
terasa, Agustus telah berada di ujung. Sembari menunggu ‘fee’ cair.
Alhamdulillah, Minggu kemarin dapat kerjaan selingan, lumayan bisa menambah
napas kehidupan. Ya.. walau belum cair. “It’s not a big ideal, man!” Semalam,
rezeki melimpah, terima kasih ya, Tuhan. Dapat rezeki dari bang Frans. Terima
kasih ya, bang. Moga lancar rezekinya, amin.. Kemudian, begadang bersama
keluarga Sanggul dengan agenda bakar tuna, sembari menunggu tong datang. Bang
Jawe yang bawa (tuna), dapat dari omnya bang Jawa. “Ya, Jawe-Jawa, kenapa
kalian nggak jadi saudara kembar siam dempet jempol aja sih?” Ikannya, cukup
banyak, jadi tidak mungkin kami lahap sendiri, security dapat bagian, begitu
pun teknisi. Ya, kami bakar-bakaran di kampus.
Kenyang.
Lalu, pulang. Eh.. tentu dong, bekas bebakaran dan segala sampah-sampahnya,
sudah disterilkan dulu, begitu pun lapangan basket bagian pinggir, yang terkena
kecap dan segala bumbu, kami semprot dengan air.
Tuhan,
terima kasih ya.. atas rahmah dan berkahmu. Aku tahu, paham, Kau tak hanya
memberi gejolak, namun juga Kau taburi kami “garnish”. Ada satu hal, kala itu
aku melihat cuitan Sujiwo Tedjo di twitter, ia berkicau : “Paling gampang
menghina Tuhan. Besok kau khawatir ndak bisa makan, kau sudah menghina Tuhan.
Mungkin ini inti agamaku.” Aku tersentak membaca cuitan ini. Setelah kucermati,
betapa begitu sering khawatirnya aku, akan gejolak-gejolak, kegetiran, dan kepahitan.
Bermula dari membaca kicauan sang sufi (Sujiwo Tedjo),
kucoba untuk mengurangi khawatirku, agar tak usah begitu gusar akan cobaan, dan
musibah. Hadapi, mari!
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..