SENI, TEATER, DAN PENUMPANG GELAP

Bagaimana jika para pekerja seni ‘dipaksa’ untuk memuaskan dahaga para birokrat? Nyatanya, seni tak bisa dikonfrontir, seni memiliki orientasinya sendiri.
Begitu pula halnya dengan pegiat seni kampus baik seni pertunjukkan (teater, tarian), audio (musik), maupun visual (lukis, seni rupa, film). Mereka berkesenian tidaklah berdasar pada ‘untuk dikenal’ atau sebagai ‘jalan promosi’. Melainkan, atas dasar orientasi mereka berekspresi, dan ukurannya tentu bukan dari peringkat lomba, prestasi dalam suatu festival. Tentu yang utama adalah ‘apresiasi’ dari khalayak penikmat karya mereka. Namun, hal ini sering disalah artikan para pemangku jabatan universitas, para pemangku kepentingan pamor. Bahwa, peringkat dalam suatu festival maupun perlombaan menjadi ukuran sebuah kelompok pegiat seni dalam ‘jasa’nya mengenalkan almamater. Nampaknya, begitu picik, jika proses berkesenian telah ditumpangi kepentingan-kepentingan komersial, dipandang tak berguna jika tak menghasilkan ‘piala’. Jelas beda orientasi sebuah kelompok pegiat seni, dengan para penghamba popularitas. Seni berfungsi sebagai media kontrol sosial. Tak heran, jika sering kita temukan kritik-kritik keras dalam karya seni, baik berupa satire, komedi, maupun secara ‘blak-blakan’. Seni merupakan ekspresi masyarakat. Sebagai hiburan, sekaligus penyuguh pesan moral.
 Agar tak terlalu luas pembahasan ini, mari kecilkan sekupnya dalam bingkai : teater. Teater bukan hanya sekadar siapa memerankan apa, melainkan cerminan dari kondisi sosial masyarakat. Berangkat dari kecemasan, kepanikan, serta keluhan maka lahirlah sebuah naskah, untuk dipentaskan, untuk ‘pencerminan’. Nyatanya, meski dalam pertunjukkan teater syarat akan kritik, makna filosofis, dan pesan moral, toh ia (teater) tak luput dari ‘penumpang gelap’ dan ‘titipan’. Penumpang gelap inilah kemudian yang menodai khazanah berkesenian. Siapa penumpang gelap itu? Macam-macam rupanya, ada : penguasa, birokrat, kaum oportunis, dan jelas, sesuatu yang sangat sensitif bagi pegiat seni : duit. Mengapa duit menjadi hal yang sangat sensitif? Tentu, melihat realitanya, kegiatan-kegiatan seni masih sangat kurang didukung pemerintah, setengah hati, terlebih dalam menunjang segala yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, demi menangkal segala ‘noda-noda’ dalam kegiatan seni, perlu didasari dengan : hati. Berteater tentu tak hanya berorientasi pada uang. Namun, yang lebih pentingnya adalah, bagaimana kita, para pekerja seni atau para teaterawan mengedepankan masyarakat, nilai-nilai moral, dan ‘ada perubahan’ yang dapat kita rasakan setiap kita berproses, atau memerankan suatu tokoh.
Satu hal, yang lebih penting dari uang adalah : ruang. Ruang untuk berekspresi, ruang untuk berproses, ruang untuk menunjukkan hasil karya, dan ruang kebebasan. Bukan berarti kami tak butuh uang, namun ruang adalah latar utama kami dalam mengekspresikan segala sesuatu agar menjadi pertunjukkan.

Sekali lagi, kami tekankan! Teater bukanlah tumpangan nyaman, bagi kalian para birokrat, para oportunis, para pencari jabatan, para penghamba popularitas! Kami berangkat atas dasar berkesenian, bukan kepopuleran, ataupun komersial. Kami bertugas untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan sosial, agar para masyarakat tak ‘melenceng’ seperti kalian, kami berkesenian agar ‘telinga’ kalian tak tersumpal oleh kemewahan, oleh jabatan, oleh Tuhan yang kalian sembah : uang! Kami akan menjadi mimpi buruk bagi kalian : para birokrat, para oportunis, para pencari jabatan, para penghamba popularitas!

Komentar

Postingan Populer