KUSUT
Bajuku
tak pernah kusetrika rapi. Selalu kubiarkan tanpa modifikasi setelah kuangkat
dari jemuran. Yah, selain alasan utamanya adalah karena tak ada setrika. Mungkin,
baju-baju yang kukenakan akan terlihat rapi, bergaris, ketika kubawa ke laundry,
mereka akan terlihat gagah ketika kupakai. Tapi, itu hanya sesekali, tak ada
rutinitas yang menggariskanku untuk membawa baju-baju ke tukang laundryan,
hanya ketika aku sedang begitu malas mencuci, atau ketika ada lebih uang saja,
eh.. alasan yang terakhir jarang terjadi. Hasilnya, jelas, baju-baju yang
kukenakan selalu tampak kusut tak bergosok besi panas. Bau deterjen atau
mungkin bau matahari, tak ada bau pewangi pakaian, pelicin pakaian, atau yang
lebih elegan.. parfum. Beruntung sekarang aku sudah pakai deodoran, jadi,
lumayan, bisa menambah sedikit aroma wangi pada baju, meski hanya berefek pada
sekitar ketiak. Aku sebenarnya tak begitu memedulikan, bagaimana kondisi baju
yang kupakai, atau bagaimana seharusnya lekukan yang ada di bajuku, apakah ada
garis lurus memotong panjang pada lengan baju, atau garis-garis yang beriak tak
beraturan seperti riak air, di sekujur baju? Entahlah, I really don’t care!
Begitu
pun, dengan rambut. Ia tak beda jauh nasibnya dengan baju. Rambutku, ya.. tak
pernah rapi, karena memang susah diatur. Kering, merah, mungkin terlihat
seperti serabut batok kelapa. Ah, rambut.. dulu sering kupakaikan minyak,
supaya ia bisa kelimis, basah. Sekarang aku tak doyan, atau tak ada niatan kembali,
memakaikan kau minyak, atau gel. Sekarang, kubiarkan kau kusut, tanpa aturan
baku dari sisir, ya hanya sekadar sibakan atau belaian kecil dari tangan-tangan
kotorku, itu pun hanya sekadar, tanpa aku berniat membuatmu menjadi indah,
jangan harap. Karena kau sejatinya adalah kusut.
***
Lalu,
apalagi, yang tersisa dariku, yang kusut? Apakah, rinduku mulai mengusut juga? Sepertinya
tidak. Mungkin telah habis, segala kekusut-kusutan yang melekat padaku. Mungkin
saja, kau sekarang. giliranmu. Your turn! Apa yang mengusut dalam dirimu? Pasti,
kau pun memiliki sesuatu hal yang sudah, atau hampir, atau akan, yang penting
kusut. “Ah, bisa jadi!” Betul apa yang kau katakan baru saja. Benar, kau
membisikiku, mengenai apa yang sudah kusut dalam dirimu. Ya.. rasa.
Rasamu
padaku, mungkin telah mengusut. Menjadi benang yang terjulur dari pintalannya,
kemudian memanjang membentang melintasi kelokan-kelokan yang ada pada mesin jahit,
kemudian turun, dan terlilit, bisa jadi lebih parah, benang yang telah lepas
dari pintalannya itu, sudah terinjak, oleh kaki-kaki yang kekar, oleh kaki yang
basah, sehingga ketika menginjak uluran itu, warnanya pun memudar, meninggalkan
bekas pada lantai. Pada akhirnya, warna yang seharusnya utuh dari pintalan,
menjadi berbeda, ketika telah sampai pada hadapanku. Oh.. sungguh malang, benang
itu, kini, telah menjadi remahan, seperti roti yang akan dimakankan pada bayi. Menjadi
serpihan, menjadi potongan-potongan benang. Tapi, tetap saja, milikmu, masih
berwujud benang, masih berwujud rasa. Walau, ia tak setebal pintalan dulu,
walau kini, ia telah terurai, dan memudar warnanya.
Aku
paham, susah memang, membentangkan benang, begitu panjang, namun masih berharap
uluran benang itu utuh seperti sedia kala, utuh kekokohannya. Benang adalah benang,
bukan semen atau besi. Walau, aku masih bisa menerka, bahwa “Benangmukah itu,
(masih) tertuju padaku?”
Kau,
memang hanya punya satu kekusutan, rasamu yang kusut padaku. Tetapi, itu sangat
amat tak hanya membuatku larut, dalam pintalan-pintalan elegi, kini aku
tergulung, bersama rajutan dilema. Sampai kapankah aku, menerka, bahwa benang yang
mulai kusut itu berujung padaku, atau, kutinggalkan saja benang yang mulai
kusut itu sedari sekarang, jika aku terus menerka, aku akan larut, ke dalam
adukan air kesedihan.
Entahlah,
katanya, lelaki tak boleh berlarut, ya.. mungkin, ditakutkan, akan kusut!
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..