TEMPURUNG
Terik! Sinar mentari
menerobos melalui celah-celah gedung menjulang tinggi yang saling berhimpitan. Kaca-kacanya
yang mengkilat memantulkan semburat warna oranye kekuning-kuningan. Masih pagi
memang, iring-iringan awan pun masih nampak rapi, seperti siswa-siswa sekolah
dasar yang berbaris rapi hendak masuk kelas. Para pedagang pun masih sibuk
dengan dapur-dapurnya. Namun, ia begitu yakin, bahwa hari ini akan sangat
terik, untuknya.
***
Ia benar. Dugaannya benar. Siang ini
begitu terik. Sampai-sampai orang di pinggir jalan harus menyiramkan air ke
jalanan untuk menenangkan debu-debu yang bertabrakan karena dihempaskan udara
panas. Sampai-sampai, di atas wajan tukang gorengan terlihat udara yang begitu
panas, seperti fatamorgana di gurun pasir. Sepertinya, ia harus bertahan lebih
kuat lagi, menghadapi terik yang begitu menyengat tanah, menyengat aspal hingga
meleleh, atau bahkan, menyengat kegersangan sepinya, hingga terbakar, berasap,
dan menjadi kabut! Sepinya kini telah menjadi kabut yang pekat.
Membuat mata yang terjaga, menjadi pedas,
perih, maka lebih baik terpejam, ke dalam, hingga terlihat urat-urat di sekitar
mata yang menahan perih, mata yang terpejam atau dipaksa untuk dipejamkan. Kabut
tadi tak hanya mengganggu mata, ia juga mengusik hidung. Hidung dipaksa
menghirupnya. Hingga tenggorokan tersedak. Napas sesak. Tangannya mengibas-ibas,
untuk mengusir kabut peka yang sudah melingkupi sekujur tubuh ringkihnya. Jalannya
kini sempoyongan, kepalanya pusing karena terlalu banyak kabut pekat yang ia
telan. Tangannya meraba-raba sekitar, berusaha mencari pegangan, sandaran untuk
ia berdiri. Sayang, ia kalap. Ia tak sadar, bahwa dirinya terkurung dalam
tempurung. Tempurung yang menghalangi ia untuk melihat ke depan, tempurung yang
mengikat tubuhnya terlalu kencang. Pada akhirnya, ketika kabut pekat telah
bergumul, hanya tersisa kesumpekan di dalamnya, dalam tempurung yang menyimpan
tubuh ringkih.
“Sssssttt........!!!!!”
tempurungnya mengeluarkan asap. Akibat terlalu panasnya di dalam. Ditambah dengan
pancaran mega surya yang perkasa. Sempurna sudah : sumpek, gersang, pengap! Ia
lemas, kuyu, sayu. Ia sudah tak mampu berbuat apapun menahan panas yang
mengganas! Ia sudah berusaha kuat melawan dan bertahan dalam panas. Memejamkan mata,
menutup hidung, mengusir kabut, mencari sandaran berdiri, sampai-sampai ia
hanya dilingkupi kepekatan asap. Tak ada yang lain, yang ia pikirkan, selain
bertahan dalam panas terik. Ia tak ingin memedulikan apa pun!
Ia,
menyerah! “Menyerah?!” Gumamnya. Sebelumnya, tak pernah kata itu melintas di
benaknya. Namun, sekuat apa pun ia berjuang pada akhirnya ia harus mengalah
pada kerealitasan. Kini, ia mendeklarasikan dirinya menjadi kaum defaitis. Masih
dalam segala kepengapan tempurungnya, ia panjatkan doa, dan harapan. “Tuhan,
inikah saatnya, aku meminta bantuanmu? Apakah aku sudah tak mampu lagi
bertahan? Kalau pun ia, aku tak meminta berlebihan, mendungkan saja awan. Pekatkan
langit, lalu, bolehlah Kau berbagi sedikit rintik gerimismu padaku. Atau, kalau
kau sedang tidak ingin Bermuda padaku, cukup mendung saja. Mendung. Setelah panas
yang memusingkan kepala dan menghabiskan oksigen, dan hampir menyesakkan napas
serta membutakan mata, aku butuh mendung, sekadar untuk menentramkan tubuh
gersangku, sebelumnya, kuucapkan terima kasih, Tuhan..”
***
“Wuuuuupppp......” Desau angin memecah racauan manusia-manusia. Menembus
celah-celah suara. “Mau hujaaan...” Pekik seorang anak manusia pada kawannya. Ia
masih meringkuk di dalam tempurung. “Tes!” Ah, begitu sejuk.. pikirnya. Kepalanya
melongok keluar, menerobos kabut pekat yang masih melekat pada dinding
tempurung yang mengurungnya.
Menyusullah
tetesan-tetesan selanjutnya, membasahi tanah, membasahi rambut kepalanya yang
karut marut. Awan beriringan dengan gagah, hampir mendekati seram. Warnanya hitam.
Bergumul. Menutupi putih atap bumi. Kabut di dalam tempurungnya, perlahan kalah
oleh angin yang terus-menerus mendesau, meniup-niup daun pepohonan. Kabut dalam
tempurungnya telah terusir bersama angin. Ia tengadahkan kepalanya, ia
mengguratkan senyum, ketika matanya terkena tetesan air langit. Perlahan ia
buka matanya, satu-satu, tempurungnya perlahan retak, berbarengan ketika mata
yang baru saja terpejam, melihat sesosok embun rupa anak manusia, berdiri tiga
meter menyerong ke kanan di hadapan tubuh ringkih itu.
“Aku
harus melihatnya lagi, dan mengajak bicara, satu saat nanti. Kapan? Sembari tempurungku,
retak seutuhnya! Sampai jumpa kembali, embun....”
***
Komentar
Posting Komentar
Bercuap ya..